Ini berkaitan dengan partisipasinya sebagai wakil Indonesia dalam KTT Luar Biasa Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang berlangsung di Riyadh, Arab Saudi, pada Senin waktu setempat.
Di forum tersebut, Anis Matta terlihat menggunakan Bahasa Arab saat menyapa Putra Mahkota Saudi, Mohammed Bin Salman (MBS). Setelah itu, ia kembali berbahasa Arab untuk menyampaikan pandangan dari Indonesia.
“Atas nama Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan atas nama delegasi Indonesia, saya mengucapkan terima kasih kepada Pangeran Mohammed Bin Salman atas undangan untuk hadir dalam KTT yang penuh berkah ini,” ujarnya dalam sebuah video yang diunggah KBRI Riyadh dalam akun instagram resmi @Indonesianinriyadh.
Anis Matta kemudian melanjutkan dengan menggambarkan penderitaan rakyat Gaza, Palestina, akibat serangan Israel di wilayah tersebut. Ia bahkan menyatakan bahwa penderitaan yang dialami warga Gaza merupakan bentuk genosida.
“KTT yang luar biasa ini, sebagaimana yang kami pahami, merupakan respons terhadap tantangan eksistensial melalui koordinasi upaya kolektif dua organisasi, Liga Arab dan OKI, untuk menyelamatkan Palestina dengan kekuatan dan sumber daya yang kita miliki,” tuturnya.
Anis Matta kemudian menegaskan bahwa pemerintahan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, tidak memahami bahasa perdamaian. Menurutnya, Tel Aviv hanya mengerti bahasa penindasan, kekerasan, dan kekuatan, sehingga keputusan Mahkamah Internasional yang menyerukan penghentian serangan pun diabaikan oleh negara tersebut.
“Oleh karena itu, kami berharap bahwa KTT ini menghasilkan poin-poin yang nyata yang mengandung semangat respons korektif terhadap hukuman kolektif,” ungkapnya.
Pertemuan Liga Arab dan OKI ini turut dihadiri oleh sejumlah pemimpin dari negara-negara Arab dan Muslim. Beberapa di antaranya adalah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif, Wakil Presiden Iran Mohammad Reza Aref, serta Perdana Menteri Lebanon Najib Mikati.
Dalam pernyataan penutup, para pemimpin tersebut menegaskan kecaman keras terhadap tindakan tentara Israel, yang mereka anggap sebagai kejahatan genosida, terutama di wilayah Gaza Utara selama beberapa minggu terakhir. Mereka bahkan menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk penyiksaan, eksekusi, penghilangan paksa, dan pembersihan etnis.
Pernyataan tersebut juga mengecam upaya Israel untuk memperkuat kendali atas Yerusalem Timur yang diduduki, dengan menegaskan bahwa kota tersebut merupakan ‘ibu kota abadi’ Palestina. Para pemimpin menyerukan agar Tepi Barat yang diduduki Israel, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur disatukan di bawah kedaulatan negara Palestina.
“Kami menegaskan kembali kedaulatan penuh Negara Palestina atas (Yerusalem) Timur yang diduduki, ibu kota abadi Palestina, dan menolak keputusan atau tindakan Israel apa pun yang bertujuan untuk melakukan Yahudisasi dan mengkonsolidasikan pendudukan kolonialnya atas kota tersebut,” kata pernyataan penutup pertemuan puncak tersebut.
Milisi Palestina, Hamas, yang saat ini sedang berkonflik dengan Israel, merespons pernyataan tersebut. Mereka menekankan pentingnya realisasi konkret atas janji-janji yang disampaikan oleh negara-negara Arab dan Muslim.
“Pembentukan negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya akan membutuhkan upaya yang lebih cepat dan solusi praktis untuk memaksa (Israel) menghentikan agresi dan genosida terhadap rakyat kami,” kata Hamas dalam sebuah pernyataan yang dikutip AFP.
Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Israel yang baru, Gideon Saar, menolak prospek tersebut dengan menyebutnya sebagai hal yang ‘tidak realistis’.