Litium Berlimpah di Arkansas, Solusi Baru untuk Permintaan Energi Global

Sahrul

Tersembunyi di bawah Arkansas selatan, terdapat peninggalan laut kuno yang mungkin menyimpan cukup litium untuk memenuhi permintaan global sembilan kali lipat pada tahun 2030.

Tim peneliti kolaboratif dari pemerintah federal dan negara bagian Amerika Serikat telah melatih model pembelajaran mesin untuk memprediksi serta memetakan konsentrasi litium dalam air asin yang terperangkap di dalam akuifer batu kapur berpori di bawah Arkansas selatan, yang dikenal sebagai Formasi Smackover.

Model ini dilatih menggunakan data litium dari air garam yang sudah ada serta data baru dari wilayah tersebut, sambil memperhatikan variasi yang telah diketahui dalam geologi, geokimia, dan suhu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sekitar 5,1 hingga 19 juta ton litium dalam air garam, yang dapat mewakili 35-136% dari perkiraan total sumber daya litium saat ini di Amerika Serikat.

Angka tersebut berpotensi mengurangi ketergantungan Amerika Serikat pada impor litium, yang saat ini menjadi perhatian utama para pejabat Departemen Energi AS.

Studi ini juga mengungkapkan bahwa pada tahun 2022, air garam yang diangkat ke permukaan oleh industri minyak, gas, dan bromin mengandung 5.000 ton litium terlarut. Sumber daya ini semakin penting seiring dengan peralihan kita dari mesin pembakaran internal yang menggunakan bahan bakar fosil menuju kendaraan listrik dan hibrida bertenaga baterai.

Litium menjadi bahan utama untuk baterai kendaraan listrik, dan permintaannya mengalami lonjakan signifikan. Berdasarkan data dari International Energy Agency (IEA), sekitar 85% dari total permintaan litium pada tahun 2023 berasal dari baterai kendaraan listrik, meningkat sebesar 30% dibandingkan tahun 2022.

“Penambangan dan pemurnian perlu terus tumbuh dengan cepat untuk memenuhi permintaan di masa mendatang,” lapor IEA seperti dikutip dari Science Alert.

Namun, penambangan baru dan ekstraksi air tanah dapat memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat. Proses penambangan litium yang lebih tradisional melibatkan metode tambang terbuka, yang merusak seluruh ekosistem di permukaan dan lapisan bawah tanah. Selain itu, kolam penguapan digunakan dalam metode ini, yang hanya menghasilkan litium dalam jumlah terbatas. Metode ini juga mengharuskan penggunaan air dalam jumlah besar dan dapat menyebabkan dampak lingkungan serius, seperti polusi yang disebabkan oleh debu beracun.

Di Arkansas selatan, industri bromin telah mengadopsi proses yang lebih ramah lingkungan. Dalam metode ini, air garam dipompa keluar dari akuifer untuk mengekstraksi bromin, dan air limbah yang dihasilkan kemudian dipompakan kembali ke dalam tanah.

Dalam proses ini, hanya litium dan mineral tambahan yang berpotensi akan diselamatkan. Peneliti percaya bahwa hal ini menunjukkan bahwa sumber daya litium di daerah tersebut belum tergerus oleh penambangan yang sudah berlangsung.

Meskipun proses ini berlangsung, dampak terhadap lingkungan tetap tak terelakkan. Bahkan, konsekuensinya bisa sangat luas dan sulit diperkirakan, dengan risiko yang tak sepenuhnya disadari. Saat ini, banyak perusahaan bersiap untuk menggali sumur-sumur baru, berharap meraup keuntungan, meskipun potensi kerusakan alam semakin besar di depan mata.

“Kami mendukung kendaraan listrik dan penyimpanan baterai sebagai bagian dari transisi dari bahan bakar fosil. Tetapi kami secara aktif mencari di mana produksi litium di AS yang tidak akan membahayakan masyarakat dan lingkungan,” kata Patrick Donnelly, seorang ahli biologi konservasi dan direktur Great Basin untuk Center of Biological Diversity.

“Tidak ada yang namanya ‘makan siang gratis’. Tentu ada dampak dari ekstraksi litium langsung,” katanya.

Tanpa keraguan, mencapai keseimbangan ini akan menjadi tantangan yang rumit. Namun, temuan penelitian terbaru ini bisa menjadi panduan berharga untuk mewujudkannya dengan cara yang tepat.

“Litium adalah mineral penting untuk transisi energi, dan potensi peningkatan produksi AS untuk menggantikan impor memiliki implikasi untuk lapangan kerja, manufaktur, dan ketahanan rantai pasokan,” kata direktur US Geology Survey David Applegate.

“Studi ini menggambarkan nilai sains dalam mengatasi masalah yang penting secara ekonomi,” ujarnya.

Also Read

Tags