Demikian pun keberadaan etnis Tionghoa di Jawa Barat. Dari kebiasaan tingkah laku dan adat yang tertinggal sampai sekarang hingga bangunan tuanya, bercerita bahwa sejarah Tionghoa pun turut mempengaruhi perjalanan sejarah di Jawa Barat.
Ternyata, bukan cuma di Bandung dan Cimahi saja, adat kebiasaan dan bangunan tua di Karawang menjadi catatan sejarah eksistensi etnis Tionghoa di kota berjuluk lumbung padi ini.
Baca Juga : Jejak Etnis Tionghoa di Karawang Dibawa Pengembara Bernama Sian Djin Ku Poh
Vihara (baca; kelenteng) Sian Djin Ku Poh menjadi bukti keberadaan etnis itu di Karawang. Bangunan keagamaan di tengah-tengah Kampung Benteng Kelurahan Tanjungpura Kecamatan Karawang Timur ini, disebut-sebut telah berusia ribuan tahun, sekaligus menjadi batas Karawang dan Bekasi.
Di Karawang daerah ini familiar dengan sebutan Kampung Cina, karena mayoritas penduduk dusun itu adalah etnis Tionghoa yang telah bermukim lama. Meski wajah serta bahasa keseharian yang digunakan adalah bahasa sunda, namun adat dan kebiasaan leluhur masih kental dalam diri mereka.
Warna kulit mereka ini lebih hitam dari umumnya kulit warga keturunan Tionghoa, cuma garis matanya saja masih sipit. Menurut informasi ada ratusan keluarga di kampung itu, dan hingga kini masih taat menjalankan ritual budaya leluhurnya.
Vihara Sian Djin Ku Poh kerap digunakan untuk peribadatan warga setempat, juga warga keturunan dari luar daerah. Selain untuk bersembahyang, di halaman Vihara Sian Djin Ku Poh juga sering digelar berbagai ritual kebudayaan, seperti perayaan Imlek. Vihara Sian Djin Ku Poh dipimpin seorang suhu, dan tugasnya memimpin ritual dan pemanjatan doa-doa.
Baca Juga : Ma’ruf Amin Kunjungi Korban Banjir Desa Karangligar
Menurut cerita, Dusun Benteng sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Dahulu didirikan warga asal Tiongkok Selatan, seorang perempuan bernama Sian Djin Ku Poh.
Sekitar tahun 1700 Masehi, Sian Djin Ku Poh yang dikenal juga ahli dalam obat-obatan berlayar dari Tiongkok Selatan bersama sejumlah warga Tiongkok lainnya dari marga Khow, Law, dan Chung.
Rombongan itu sempat singgah di Bagan Siapi-api, Sumatera Utara, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan mengarungi Laut Jawa dan menyusuri Sungai Citarum dan sampai di Tanjungpura.
Entah dengan alasan apa, mereka kemudian memilih menghentikan perjalanan, hingga selanjutnya mendirikan pemukiman dan akhirnya dikenal dengan sebutan Kampung Benteng sampai sekarang. Konon nama Benteng itu disebut karena dulunya di lokasi itu ada sebuah benteng yang digunakan pejuang untuk melawan penjajah Belanda. ( Azhari/dari berbagai sumber )