Perubahan iklim adalah fenomena yang sangat nyata dan buktinya jelas terlihat di sekitar kita. Diperkirakan bahwa suhu Bumi akan meningkat hingga mencapai 2,7°C, hampir dua kali lipat dari target yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris. Perjanjian ini menetapkan batas maksimal kenaikan rata-rata suhu Bumi akibat pemanasan global pada 1,5°C. Jika angka tersebut terlampaui, dampak yang ditimbulkan dapat menjadi bencana bagi ekosistem dan kehidupan manusia. Seperti sebuah alarm yang berbunyi, tanda-tanda ini menunjukkan bahwa kita berada di jalur yang berbahaya dan memerlukan tindakan segera untuk mengurangi jejak karbon dan menjaga kelestarian planet kita.
Laporan 2024 State of the Climate, yang disusun oleh sejumlah ilmuwan dari berbagai belahan dunia, menghasilkan angka yang mencolok ini. Setiap tahun, 35 indikator utama Bumi dilacak, mulai dari luas es laut hingga kondisi hutan. Menariknya, pada tahun ini, 25 dari indikator tersebut telah mencapai tingkat rekor yang sangat memprihatinkan.
Manusia belum terbiasa menghadapi kondisi Bumi yang semakin panas, sehingga masa depan kita bisa berisiko. Selama 10.000 tahun terakhir, peradaban manusia berkembang dalam iklim yang bersahabat, yang berarti suhu tidak terlalu tinggi maupun rendah. Namun, keberadaan iklim yang layak huni ini kini terancam, dan hal ini menjadi kekhawatiran serius bagi generasi mendatang. Jika tidak ada langkah yang diambil untuk memperbaiki keadaan, anak cucu kita mungkin akan menghadapi tantangan yang jauh lebih berat daripada yang kita alami saat ini.
Jika sulit membayangkan bagaimana kondisi ekstrem yang akan dihadapi anak cucu kita di masa depan, mari kita lihat contoh nyata yang sudah terjadi saat ini.
Pertama-tama, kita bisa melihat contoh nyata berupa badai tropis yang muncul dengan intensitas yang belum pernah terjadi sebelumnya dan meningkat dengan cepat. Contohnya, Badai Helene yang melanda bagian timur Amerika Serikat dan Topan Super Yagi yang menerjang Vietnam. Kejadian-kejadian ini menunjukkan betapa ekstremnya kondisi cuaca saat ini dan memberikan gambaran jelas tentang apa yang mungkin dihadapi generasi mendatang jika pemanasan global terus berlanjut.
Selanjutnya, kekeringan yang melanda sungai-sungai besar di Brasil telah meninggalkan pemandangan mengkhawatirkan, dengan dasar sungai yang kosong dan terbuka. Selain itu, dalam haji tahun ini di Mekkah, suhu udara yang melampaui 50°C mengakibatkan tragedi, di mana setidaknya 1.300 jamaah haji kehilangan nyawa mereka. Kejadian-kejadian ini menegaskan betapa seriusnya dampak perubahan iklim terhadap kehidupan manusia dan lingkungan, serta potensi krisis yang lebih besar di masa depan jika kita tidak segera bertindak.
Mengutip laporan dari ScienceAlert, kenyataannya, masalah konsumsi bahan bakar masih menjadi isu serius. Pada bulan September lalu, kadar karbon dioksida di atmosfer mencapai 418 ppm, dan angka tersebut kini melampaui 422 ppm. Selain itu, metana, yang merupakan gas rumah kaca yang sangat kuat, juga menunjukkan peningkatan yang mencengangkan. Lonjakan kadar gas-gas ini menandakan urgensi untuk mengatasi perubahan iklim dan mengurangi emisi demi keberlangsungan hidup di Bumi.
Thomas Newsome, Associate Professor dalam bidang Ekologi Global di University of Sydney, bersama William Ripple, Distinguished Professor sekaligus Direktur Program Trophic Cascades di Oregon State University, telah memberikan sejumlah saran penting untuk mencegah kenaikan suhu rata-rata Bumi hingga 2,7°C. Wejangan mereka menekankan perlunya tindakan konkret dalam menghadapi krisis iklim ini, agar kita dapat melindungi lingkungan dan masa depan generasi mendatang.
Langkah pertama yang disarankan adalah mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Selanjutnya, penting untuk meningkatkan program reboisasi hutan, yang sejalan dengan upaya mencegah kebakaran hutan. Tindakan ini tidak hanya akan membantu menurunkan emisi karbon, tetapi juga memperbaiki kualitas udara dan melindungi keanekaragaman hayati, serta menjaga keseimbangan ekosistem yang semakin terancam.
“Pemerintah harus memperkenalkan kebijakan penggunaan lahan yang lebih ketat untuk memperlambat laju pembukaan lahan dan meningkatkan investasi dalam pengelolaan hutan untuk mengurangi risiko kebakaran besar yang merusak dan mendorong penggunaan lahan berkelanjutan,” tulis mereka.
Setiap negara di dunia perlu saling bahu-membahu dalam menghadapi tantangan ini. Negara-negara yang lebih makmur diharapkan untuk memberikan dukungan finansial dan teknis kepada yang lebih rentan. Bentuk dukungan ini bisa meliputi investasi dalam sumber energi terbarukan, peningkatan infrastruktur, serta pendanaan untuk program kesiapsiagaan bencana. Kerjasama ini sangat penting untuk menciptakan ketahanan global terhadap dampak perubahan iklim dan memastikan masa depan yang lebih aman bagi semua.
“Tanpa perubahan drastis, dunia akan mengalami pemanasan sekitar 2,7°C pada abad ini. Untuk menghindari titik kritis yang dahsyat, negara-negara harus memperkuat janji iklim mereka, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan mempercepat transisi ke energi terbarukan,” tegasnya.