Tuvalu, sebuah negara mini di jantung Samudera Pasifik, kini berada di ambang kehampaan. Dengan populasi sekitar 11.000 jiwa yang mendiami sembilan atol yang tersebar di kawasan Pasifik, mereka seolah berlomba melawan waktu. Namun, apa yang menjadi penyebab ancaman ini?
Dengan ketinggian rata-rata hanya 2 meter di atas permukaan laut, Tuvalu kini menghadapi krisis yang semakin mendesak. Dalam tiga dekade terakhir, wilayah ini telah menyaksikan kenaikan permukaan laut mencapai 15 cm, angka yang satu setengah kali lipat lebih tinggi dibandingkan rata-rata global. Para ilmuwan dari NASA memperkirakan bahwa pada tahun 2050, pasang surut harian akan merendam setengah dari ibu kota Funafuti, yang merupakan tempat tinggal bagi 60% penduduk Tuvalu.
Saat ini, dampak perubahan iklim sudah mulai dirasakan oleh penduduk Tuvalu, yang kini tergantung pada curah hujan untuk memenuhi kebutuhan air mereka. Sebagai langkah adaptasi, warga telah meninggikan kebun mereka untuk menanam sayuran, mengingat genangan air asin yang merusak kualitas air tanah. Hal ini menunjukkan betapa krusialnya kondisi lingkungan yang semakin tidak bersahabat bagi kelangsungan hidup mereka.
Sejumlah langkah antisipasi telah diambil untuk mengatasi situasi ini. Salah satunya, pada tahun 2023, diumumkan perjanjian dengan Australia yang memungkinkan 280 warga Tuvalu untuk bermigrasi ke Australia setiap tahun mulai tahun depan. Namun, kekhawatiran muncul di kalangan penduduk lokal bahwa proses relokasi tersebut dapat mengakibatkan hilangnya budaya mereka yang kaya.
“Beberapa orang pergi dan beberapa orang ingin tetap tinggal di sini. Ini keputusan sangat sulit. Untuk meninggalkan suatu negara, Anda meninggalkan budaya tempat Anda dilahirkan, dan budaya adalah segalanya,” cetus Maani Maani, 32 tahun, pekerja IT di kota utama Fongafale.
Saat ini, Tuvalu berusaha memperpanjang waktu yang tersisa. Di Funafuti, mereka sedang membangun tembok laut untuk menahan gelombang badai yang semakin ganas. Selain itu, proyek pembangunan lahan buatan seluas 7 hektar juga sedang dilakukan, dengan rencana untuk mengembangkan lebih banyak area serupa. Harapannya, upaya ini dapat memberikan perlindungan bagi penduduk hingga tahun 2100 mendatang.
Saat itu, NASA memprediksi bahwa kenaikan permukaan laut sebesar 1 meter di Tuvalu atau bahkan dua kali lipatnya dalam skenario terburuk akan menyebabkan 90% wilayah Funafuti terendam air.
Jika Tuvalu akhirnya tenggelam, beberapa pertanyaan penting masih harus dijawab. Pertama, apakah negara ini akan tetap diakui sebagai entitas berdaulat meskipun tidak memiliki tanah atau daratan? Kedua, meskipun seluruh wilayahnya akan berada di bawah lautan, apakah hak atas lahan tersebut masih akan tetap menjadi milik mereka?
Perairan Tuvalu, yang melimpah dengan ikan tuna, menjadi incaran bagi para penangkap ikan asing yang membayar sekitar USD 30 juta setiap tahun untuk lisensi penangkapan. Pendapatan ini menjadi sumber utama ekonomi negara tersebut. Jika masyarakat internasional mengakui batas maritim Tuvalu sebagai garis batas yang permanen, hal ini akan memberikan dukungan ekonomi yang signifikan meskipun negara itu tidak lagi memiliki daratan.