Perang Model Pilkada (Edisi Ajari Kami Jadi Media Objektif)
BERPERANG yuuk, tapi ada aturannya. Kalau kalangan wartawan menyebutnya etika jurnalistik. Nah, dalam perang pilkada ini sebut sajalah ‘Etika Pilkada’. Jadi peraturan dalam berperang ini namanya Etika Pilkada. Kita saling hantam, saling sikat dan jotos-jotosan tapi dengan visi dan misi, bukan dengan saling mencela dan memaki diantara kita.
Kau punya visi? Aku juga punya. Misi juga punya pasti, kalau aku pasti punya. Nah, kita berperang dengan itu. Kita rayu masyarakat bin rakyat dengan janji-janji. Silahkan bikin janji apa saja, dari yang muluk-muluk sampai yang meninabobokan silahkan. Janji palsu juga boleh. Dan, biasanya dilakukan dengan tebar pesona. Silahkan, sah-sah saja.
Namanya juga janji bisa ditepati bisa juga tidak, sah-sah saja dalam peperangan, yang penting bisa memenangkan peperangan (janji palsu; sambil tertawa). Kita sebut itu ‘Janji Politik’. Nah, janji politik ini salah satu benteng yang kita perebutkan. Mau menjanjikan infrastruktur yang kinclong, lapangan pekerjaan yang banyak, masyarakat yang sejahtera atau biaya sekolah murah juga boleh, yang tidak boleh itu menjual agama dan dendam pribadi.
Tapi gak gampang, apalagi di era digitalisasi seperti sekarang. Rakyat gak bisa lagi dibohongi. Sudah pada pintar dan sudah tahu borok bin koreng kita masing-masing. Borok yang bau dan koreng yang menjijikkan mereka sudah tahu. Nah, justru disitu tantangannya. Seberapa hebatnya tim-tim sukses kita masing-masing merayu supaya mau menerima borok dan koreng kita masing-masing.
Nah, itu lebih elegan dan sportif. Bukankah nanti kita-kita ini bakal jadi pemimpin? Mereka itu kan yang nanti jadi rakyat kita. Gak ada salahnya jujur sama rakyat sendiri, kalau yang sempurna itu hanya Allah SWT, manusia tak ada yang sempurna (jujur; gak usah jujur juga rakyat sudah tahu). Gimana, dan tim yang berhasil mengelabuhi rakyat yang pintar dia pemenangnya. Sepakat?
Benteng ke dua yang diperebutkan ‘Money Politic’ eh ‘Politik Uang’. Biasanya suka ngumpet-ngumpet, padahal biar ngumpet sekalipun tetap ketahuan. Untuk yang ini mari kita main petak umpet. Yang jago ngumpetnya dia yang menang. Sepakat? Aku sih oke aja, karena aku punya harta kekayaan berlimpah, miliran rupiah. Mau puluhan miliar atau belasan miliar, apa bedanya. Karena aku kan bekerja, punya usaha yang maju dan aset-aset. Boleh-boleh saja punya harta kekayaan yang banyak, yang gak boleh itu mendapat kekayaan dari hasil menipu orang.
Tah, yang terakhir benteng ke tiga, ini paling seru karena akan memperlihatkan sehebat apa kita di medan peperangan pilkada. Nama bentengnya ‘Siasat Tempur’ seperti tentara saja. Dalam sebuah peperangan 75 persen kemenangan ditentukan dari cara bersiasat. Belum tentu pasukan yang banyak dan senjata atau alat perang yang hebat sudah pasti menang.
Dulu Indonesia menang lawan Belanda cuma dengan bambu runcing, karena yang jadi tentara Indonesia dulu anak-anak yang muda sakti dan kebal. Bambu runcing bukan buat menikam belanda tapi sebagai tiang bendera. Tetapi bukan itu persoalannya, melainkan siasat grilya yang dilakukan anak-anak muda kita dulu.
Nah, bagaimana? Kau hebat kan? Punya siasat tempur? Kalau aku, punya, semua siasat tempurku dibuat dengan konsep yang matang. Biar rakyat menilai konsep pembangunan siapa lebih unggul. Itu lebih baik ketimbang kita saling mencela dan memaki. (azhari)