Jakarta, 21 Mei 2024 – Oleh Atik Untari, Jurnalis Ekonomi.
Bagi para penikmat kuliner, kode "PB1" di lembar struk pembayaran restoran tentu bukan hal asing. Selama ini, kode tersebut merujuk pada Pajak Restoran, sebuah pungutan daerah yang kerap disalahpahami sebagai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, era PB1 kini resmi berakhir. Istilah tersebut telah bertransformasi menjadi Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), sebuah perubahan fundamental yang bukan sekadar pergantian nama, melainkan penyesuaian regulasi yang lebih luas.
Pergantian nomenklatur ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Langkah ini diambil pemerintah untuk menciptakan keseragaman dan efektivitas dalam sistem perpajakan daerah, demi optimalisasi penerimaan kas daerah serta penyederhanaan administrasi.

Related Post
Morris Danny, Kepala Pusat Data dan Informasi Pendapatan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jakarta, menjelaskan bahwa PBJT Makanan dan Minuman merupakan instrumen pajak yang dikenakan kepada konsumen akhir. Pajak ini dipungut atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu, khususnya di sektor makanan dan minuman.
"Penerimaan dari pungutan PBJT ini akan disetorkan langsung ke kas daerah melalui mekanisme pelaporan yang telah ditetapkan oleh Bapenda DKI Jakarta," ujarnya, menegaskan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik.
Objek PBJT mencakup transaksi penjualan, penyerahan, atau konsumsi makanan dan minuman yang disediakan oleh berbagai entitas. Ini termasuk restoran, rumah makan, kafe, katering, hotel, hingga penyedia jasa boga lainnya yang menawarkan layanan konsumsi. Perubahan ini diharapkan tidak hanya meningkatkan transparansi dalam pengelolaan pajak daerah, tetapi juga memastikan keadilan dalam pembebanan pajak kepada konsumen akhir, sekaligus memperkuat fondasi fiskal daerah untuk pembangunan berkelanjutan.









Tinggalkan komentar