Terkuak! Roti O Akhirnya Terima Tunai, Ada Apa di Baliknya?
JAKARTA – Manajemen Roti O akhirnya mengumumkan kebijakan penting terkait metode pembayaran di seluruh gerainya. Setelah sempat menjadi sorotan publik dan viral di media sosial karena menolak pembayaran tunai, kini seluruh outlet Roti O secara resmi menerima pembayaran baik tunai maupun nontunai. Langkah ini diambil menyusul insiden viral penolakan uang tunai dari seorang nenek yang hendak membeli roti, serta potensi ancaman sanksi pidana dan denda hingga Rp200 juta yang mengintai.
Melalui akun Instagram resminya, @rotio.indonesia, manajemen secara eksplisit menyatakan, "Seluruh outlet Roti O menerima pembayaran tunai dan nontunai." Ungkapan terima kasih juga disampaikan atas masukan, perhatian, dan kepercayaan yang terus diberikan kepada Roti O oleh para pelanggan setianya. Pernyataan ini menandai perubahan signifikan dalam operasional perusahaan yang sebelumnya diduga hanya menerima pembayaran nontunai.

Related Post
Perubahan sikap Roti O ini tak lepas dari sorotan publik dan penegasan regulasi yang berlaku. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang secara tegas mengatur kewajiban penerimaan Rupiah sebagai alat pembayaran sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasal 33 ayat (2) UU tersebut menggarisbawahi larangan menolak Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah tersebut.
Ancaman hukuman bagi pihak yang menolak Rupiah sebagai alat pembayaran sah tidak main-main. Pelanggar dapat dihukum dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 juta. Regulasi ini menjadi landasan kuat bagi Bank Indonesia (BI) dalam menegaskan posisinya.
Bank Indonesia (BI), sebagai otoritas moneter, sebelumnya telah memberikan penegasan terkait isu ini. Ramdan Denny Prakoso, Kepala Departemen Komunikasi BI, menekankan bahwa secara yuridis, tidak ada entitas yang diperkenankan menolak uang Rupiah kertas maupun logam untuk transaksi di dalam negeri. Meskipun BI gencar mendorong adopsi digitalisasi melalui QRIS dan instrumen nontunai lainnya karena dinilai lebih cepat, murah, aman, dan handal, bank sentral tetap menegaskan bahwa kenyamanan pengguna adalah prioritas utama.
"Penggunaan rupiah untuk alat transaksi sistem pembayaran dapat menggunakan instrumen pembayaran tunai atau nontunai sesuai kenyamanan dan kesepakatan pihak-pihak yang bertransaksi," jelas Ramdan dalam keterangannya. Penegasan ini kembali merujuk pada Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Klausul tersebut secara eksplisit melarang penolakan Rupiah dalam transaksi keuangan, kecuali jika terdapat keraguan substansial atas keasliannya. "Dengan ini, maka yang diatur adalah penggunaan mata uang Rupiah dalam transaksi di Indonesia," pungkas Ramdan.
Insiden Roti O ini menjadi pengingat penting bagi seluruh pelaku usaha di Indonesia mengenai pentingnya memahami dan mematuhi regulasi terkait mata uang nasional. Rupiah bukan hanya sekadar alat tukar, melainkan simbol kedaulatan ekonomi negara. Kepatuhan terhadap aturan ini esensial untuk menjaga stabilitas sistem pembayaran dan kepercayaan publik terhadap integritas mata uang Rupiah.









Tinggalkan komentar