MENYEBAR secara global, tampaknya membuat eksistensi virus corona (Covid-19) bertahan hingga menyentuh belasan bulan. Sebelum pandemi covid-19 ada, bersantai di rumah adalah dambaan setiap orang. Jauh dari sesaknya pekerjaan kantor, bel pulang sekolah yang lebih cepat menjelang akhir pekan, hingga membulati tanggal merah untuk berkumpul bersama keluarga di rumah, menjadi sebuah kemewahan yang dulu didambakan hampir setiap insan.
Sejak ditetapkan sebagai pandemi pada Maret 2020, anjuran untuk menghindari kerumunan dan menjaga jarak menjadikan rumah sebagai kantor sekaligus sekolah bersamaan. Bukan tanpa sebab, pasalnya sejak awal keberadaan covid-19 yang hanya menjangkit dua sampai lima orang, kini hingga Minggu (3/1/2020) kasusnya sudah menjangkit 758.473 orang Indonesia. Berbagai aturan dari seruan pro-kontra lock down hingga larangan perayaan tahun baru memperkuat anjuran berdiam diri di rumah menjadi tindakan mutlak yang harus dipatuhi.
Keadaan ini tentu bisa menjadi sarana merekatkan kebersamaan keluarga yang sebelumnya sangat sulit dilakukan. Bukan hanya sekedar berkumpul di tanggal merah atau di akhir pekan saja. Kini si ayah yang bekerja nine to five bisa menyapa si anak yang tengah bergulat dengan buku serta layar handphone di ruang tengah, juga si ibu bisa menyiapkan sarapan hingga makan siang bersama untuk keluarga. Namun, itu hanya gambaran film keluarga bahagia yang jauh dari realita.
Malah boleh jadi bekerja di rumah memicu tekanan lebih yang berujung stres, belum lagi digerayangi bayang-bayang kedatangan ‘surat dirumahkan’ dari perusahaan yang tidak bisa bertahan karena corona. Membayangkannya saja sudah bikin pusing kepala keluarga. Bahkan, si ibu pun rentan terkena tekanan stres. Sudah sibuk mengurusi dapur, juga harus melek teknologi menjadi pengajar si anak selama belajar di rumah. Kolaborasi ini akan memicu terjadinya pertikaian antar anggota keluarga yang dampaknya akan mengarah pada rapuhnya ketahanan dan kesejahteraan keluarga.
Dari kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) hingga bayangan perceraian menjadi virus yang menyeramkan bagi ketahanan keluarga. Sebagai contoh misalnya, kota Bandung yang tercatat sebagai kota dengan indeks kebahagiaan mencapai 73,42 % pada tahun 2017, saat pandemi digemparkan dengan antrian kasus pengajuan perceraian di Pengadilan Agama Soreang.
Biasanya jumlah gugatan perceraian di Pengadilan itu hanya mencapai 700 gugatan setiap bulan. Kini naik hingga menjadi seribu lebih dalam sebulan. Bukannya merekatkan malah bisa jadi meretakan. Ngeri bukan?
Lebih ngeri lagi, berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), sejak 14 Maret-22 April 2020 telah terjadi 105 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan 106 korban yang 67 diantaranya mengalami KDRT. Itupun baru kasus yang berhasil terungkap, tak jarang para korban memilih bungkam berharap opsi itu lebih aman. Bukannya rumah menjadi tempat teraman, malah bisa jadi tempat yang mengancam.
Suplemen menjaga jarak dan menghindari kerumunan tidaklah tepat jika tidak dibarengi dengan menguarkan rasa aman dan damai. Nantinya corona selesai malah muncul masalah baru yakni anak terlantar dan hilangnya rasa aman serta traumatis bagi para korban KDRT.
Keharmonisan keluarga bukan juga urusan masing-masing yang punya setiap rumah, tapi juga urusan pemerintah yang punya kuasa sistem dan pengarah. Tetap berdiam diri di rumah dengan jaminan aman dari corona dan ancaman keretakan keluarga itu bagaimana?
Sebagai elemen penting dalam masyarakat, keluarga menjadi tonggak penting yang menentukan arah mau dibawa kemana negara ini. Pada dasarnya, tugas orangtua tidak bisa dipisahkan antara ayah atau ibu. Keduanya saling terhubung, misalnya dalam tugas kebutuhan pangan.
Ayah bekerja mencari nafkah agar kebutuhan pangan keluarga bisa tercukupi, sedangkan ibu menyiapkan makanan yang sehat dan bergizi. Pun juga dengan merawat anak, bukan sepenuhnya tugas ibu untuk mengurus anak. Anak membutuhkan keterlibatan dan kasih sayang antara ayah dan ibu secara bersamaan.
Jika keduanya saling bertentangan dan tidak mendukung, itu sama saja membuat anak dipaksa berdiri di atas dua sampan yang berlayar beda arah. Keharmonisan keluarga akan menciptakan psikologis yang baik untuk ayah, ibu hingga anak.
Tentunya, kondisi psikologis keluarga dalam menghadapi dampak Pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor penting dan sangat menentukan dalam mengatasi dinamika permasalahan yang terjadi. Bukan tanpa sebab, pasalnya salah satu cara melawan virus covid-19 adalah dengan meingkatkan daya tahan tubuh. Obat meningkatkan daya tahan tubuh semuanya ada di dalam rumah yakni keluarga.
Mengkonsumsi makanan yang bergizi dan menumbuhkan hormon positif dalam tubuh hingga terhindar dari tekanan stres. Semuanya bisa disajikan bersama keluarga di rumah. Misalnya menyiapkan makanan bersama, beraktivitas mengeluarlan kalori di rumah dengan bermain bersama si kecil atau melakukan kegiatan positif seperti bercocok tanam di halaman sampai berternak ikan cupang. Setiap masalah yang menerjang pun, harus dibicarakan bersama keluarga seperti rapat para menteri di singgasana. Tentunya menyenangkan bukan?
Sebagai pioneer tonggak kelanjutan arah bangsa, harusnya pemerintah juga lebih tanggap lagi menyikapi kasus yang bisa merusak tonggak estafet ini. Harus disegerakan mencari cara yang cepat dan tepat untuk mengusir wabah yang berbulan-bulan ini belum juga selesai. Sudah digerayangi ketakutan terjangkit virus, masih juga dibayangi keretakan keluarga yang sudah dibangun sejak lama.
Bahkan dibangun sebelum si corona ada. Jaminan adanya lapangan mencari nafkah, hari-hari yang aman ke sekolah, asap dapur yang terus ngebul. Memang bukan hanya tugas yang maha pemegang kebijakan saja tapi juga tugas kita semua. Sebab Negara juga adalah keluarga, perannya tidak bisa dipisah-pisah seperti halnya ibu dan ayah. Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tepat, masyarakat menjalankan dengan percaya dan taat. Maka bisa jadi, kita semua bisa sehat wal’afiat. ( Mayadasari )