India memiliki program antariksa yang telah meluncurkan berbagai misi, termasuk Aditya-L1, pesawat khusus untuk mengamati Matahari. Diluncurkan pada tahun 2023, Aditya-L1 telah memberikan hasil signifikan pertama yang dilaporkan oleh para ilmuwan India. Pesawat ini bahkan dianggap lebih unggul dibandingkan dengan pesawat sejenis lainnya.
Aditya-L1 mampu melakukan pengamatan aktivitas Matahari dengan tingkat presisi yang tinggi, memberikan manfaat besar dalam melindungi jaringan listrik dan satelit komunikasi dari kerusakan akibat ancaman aktivitas Matahari terhadap infrastruktur di Bumi maupun luar angkasa.
Pada 16 Juli, instrumen utama Aditya-L1, Visible Emission Line Coronagraph (Velc), berhasil merekam data penting yang memungkinkan perkiraan waktu awal terjadinya ejeksi massa koronal (CME), yang merupakan penyebab utama badai matahari.
Mempelajari CME, bola api besar yang keluar dari lapisan korona terluar Matahari, adalah tujuan penting misi surya perdana India ini. “CME bisa berbobot hingga setriliun kg dan bisa mencapai kecepatan 3.000 km per detik saat melaju. Ia dapat bergerak ke segala arah, termasuk ke Bumi,” kata Prof R Ramesh dari Institut Astrofisika India yang merancang Velc.
“Sekarang bayangkan bola api besar ini melesat ke Bumi. Pada kecepatan tertingginya, perlu waktu sekitar 15 jam menempuh jarak Bumi-Matahari sejauh 150 juta km,” imbuhnya, dikutip dari BBC.
Ejeksi massa koronal (CME) yang berhasil direkam oleh Velc pada 16 Juli mulai terjadi pada pukul 13:08 GMT. Namun, dalam waktu setengah jam, CME tersebut berubah arah dan bergerak menjauh ke belakang Matahari. Karena posisinya yang terlalu jauh, ejeksi ini tidak memberikan dampak pada Bumi.
Badai Matahari, semburan Matahari, dan ejeksi massa koronal secara rutin memengaruhi cuaca di Bumi maupun di luar angkasa, di mana sekitar 7.800 satelit berada. Meskipun fenomena ini jarang menimbulkan ancaman langsung bagi manusia, dampaknya dapat menyebabkan gangguan besar dengan memengaruhi medan magnet Bumi.
Salah satu dampak yang lebih ringan dari fenomena ini adalah munculnya aurora di dekat Kutub Utara dan Selatan. Namun, di luar angkasa, dampaknya bisa jauh lebih serius, seperti kerusakan pada sistem elektronik satelit, terganggunya jaringan listrik, serta memengaruhi satelit cuaca dan komunikasi.
Badai Matahari terkuat yang tercatat dalam sejarah terjadi pada tahun 1859, dikenal sebagai Peristiwa Carrington. Badai ini menyebabkan pertunjukan aurora yang sangat intens dan melumpuhkan saluran telegraf di seluruh dunia.
NASA, Badan Antariksa Eropa, Jepang, dan China telah mengamati Matahari menggunakan pesawat antariksa selama beberapa dekade. Kini, dengan peluncuran Aditya-L1 yang dinamai menurut dewa Matahari Hindu, badan antariksa India bergabung dengan kelompok terpilih tersebut.
Dari sudut pandangnya, Aditya-L1 mampu konstan mengamati Matahari, bahkan selama gerhana. Menurut Prof Ramesh, wahananya sedikit unggul. “Alat kami berukuran sedemikian rupa sehingga dapat meniru peran Bulan, memberi Aditya-L1 pandangan korona tanpa gangguan 24 jam sehari dan 365 hari setahun,” katanya.
Pesawat NASA-ESA lebih besar yang berarti tak dapat melihat asal mula CME jika berasal dari area tersembunyi. “Namun dengan Velc, kita dapat memperkirakan dengan tepat waktu lontaran massa koronal dimulai dan ke arah mana lontaran itu,” jelasnya.