Kasus kekerasan fisik yang dialami oleh seorang siswa MTS di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, masih dalam penanganan unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) dari Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Tasikmalaya hingga Selasa, 8 Oktober 2024. Setelah mendapatkan aduan resmi, pihak kepolisian segera mengambil langkah penyelidikan dengan memeriksa korban, menginterogasi terduga pelaku, serta meminta keterangan dari pihak sekolah.
Tindakan perundungan ini, yang merupakan bentuk dominasi kekuatan fisik atau psikologis terhadap individu yang dianggap lebih lemah, menjadi perhatian serius bagi kepolisian, karena dapat berdampak panjang pada kondisi mental dan emosional korban. Dalam upaya menggali kebenaran, aparat kepolisian memastikan seluruh pihak yang terkait, mulai dari siswa yang diduga terlibat hingga pengelola sekolah, dimintai keterangannya secara komprehensif, bagaikan menyingkap lapisan demi lapisan untuk menemukan akar masalah yang sebenarnya.
Polisi berhasil mengungkap fakta baru terkait video dugaan perundungan fisik yang viral setelah melakukan penyelidikan. Salah satu temuan penting adalah bahwa tindakan yang tampak seperti pemukulan dalam video tersebut ternyata bermula dari inisiatif para siswa untuk membentuk organisasi Patroli Keamanan Sekolah (PKS).
“Jadi latar belakangnya karena anak-anak menginginkan ada organisasi Petugas Keamanan Sekolah atau PKS, jadi inisiatif pelajar kelas delapan sebagai senior mengajak pelajar kelas 7 untuk bareng-bareng membuat PKS ini, lalu dilakukan semacam pembinaan fisik,” kata Kasat Reskrim Polres Tasikmalaya, AKP Ridwan Budiarta.
Fakta lain yang terungkap dari pengakuan korban dan terduga pelaku menunjukkan bahwa pemukulan tersebut bukan dilakukan atas kehendak pelaku. Sebaliknya, korban sendiri yang meminta tindakan itu dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan fisiknya.
“Yang mana pada awalnya dari seniornya tersebut menginginkan pembinaan fisik tersebut seperti push up, sit up dan lain-lain. Kemudian muncul dari para siswa kelas 7 menginginkan hal yang lebih. Ada beberapa video yang dibuat untuk dikonsumsi mereka, ada video lain, terlihat ada semacam senda gurau mereka, bahwa pihak anak-anak yang berjumlah 16 orang (yang dibina fisik oleh senior) tertawa-tawa, dan menginginkan itu, jadi bukan daripada anak seolah (dilakukan) pemukulan atau kekerasan tadi, jadi ini keinginan tadi anak kelas 7 tadi,” ujarnya.
Proses hukum dalam kasus perundungan ini melibatkan kerjasama dengan berbagai lembaga, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Anak dan Perempuan, pihak sekolah, serta Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Penyelesaian kasus dilakukan melalui mekanisme diversi, yaitu upaya penyelesaian konflik di luar pengadilan. Ridwan, pihak yang berwenang, menjelaskan bahwa semua pihak menghendaki perdamaian karena narasi yang tersebar dalam video tersebut dinilai keliru dan tidak sepenuhnya mencerminkan kejadian yang sebenarnya.
“Para pihak memang dari awal ingin islah, karena mereka menganggap ini tak seperti yang dibayangkan seperti yang ada dalam video tersebut,” ujar Ridwan.