Om Peres hari ini kepalanya agak pusing. Penglihatannya sedikit berkunang-kunang dan tubuhnya serasa linu-linu. Agaknya mau terserang demam. Tapi Om Peres gak mau penyakit mengalahkannya untuk melakukan tugas mulia kewartawanannya.
Pelajaran paling berharga yang didapat Om Peres dari Mentornya ketika PKL di SK Republika adalah ‘jam kerja wartawan 25 jam, selama kepala masih bisa menelurkan ide-die dan tangan masih menulis dan sesuatupun yang dapat meghentikan wartawan untuk menulis’.
Makanya pagi itu Om Peres tetap melakukan tugasnya. Tetapi langkah memaksanya berhenti. Om Peres bertemu temannya yang suka berbisnis tanah. Sesuatu yang terpikirkan pun tidak bakal ditanyakan terucap dari bibir temannya. Teman Om Peres ini memanggil nama Om Peres dengan sebutan ‘Om’. Katanya sebagai bentuk penghormatan. Wartawan itu nama pekerjaan, ya Om? Seperti di kantor-kantor pemerintah atau pabrik-pabrik. Untuk jadi wartawan apakah membuat lamaran kerja juga? Ada kantornya juga Om, wartawan?
Om Peres sama sekali tidak menduga bakal mendapat pertanyaan seperti itu. Nama temannya itu Arkan, pasalnya dia merasa heran kok keponakannya sekarang jadi wartawan. Padahal keponakannya itu sekolah pun belum sampai 12 tahun. Boro-boro kuliah, setahunya baca Koran dan tahu apa itu berita saja juga tidak. Sebetulnya Om Peres juga kebingungan dan tidak mengerti kenapa keponakan temannya bisa jadi wartawan. Pikiran Om Peres logis saja, karena di zaman Om Peres dulu, sebutan wartawan masih bergengsi. Sama seperti menyebut dokter atau pengacara.
Sedikit sekali orang-orang yang menyebut kata wartawan karena pada saat itu memang kata itu yang jarang sekali diucapkan dalam sebuah percakapan. Seperti orang menyebut kata dokter atau pengacara juga amat sedikit, karena jarang bersinggungan dengan persoalan masyarakat secara langsung. Masyarakat mengetahui untuk bisa menyandang gelar wartawan sama sulitnya mendapatkan gelar dokter atau pengacara. Karena sama-sama mendapatkannya harus kuliah terlebih dahulu, itupun di kampus-kampus yang memang memiliki program pedidikannya.
Misalkan untuk menjadi dokter, maka harus kuliah di Fakultas Kedokteran, untuk jadi pengacara kuliahnya di Fakultas Hukum dan untuk bisa jadi wartawan dia mesti kuliah di Fakultas Komunikasi. Sebelum lulus ada mata kuliah kejuruan wajib dan harus lulus. Mata kuliah wajib ini mengharuskan mahasiswa turun ke lapangan mencari berita seperti wartawan beneran karena memang prakteknya di surat kabar benaran. Sebutannya PKL alias Praktek Kerja Lapangan.
Hal itu dilakukan selama satu bulan, setelah mata kuliah Seleksi Penyuntingan Berita dan Pendapat yang dilanjutkan mata kuliah membuat surat kabar kelompok. Sehingga profesi kewartawannya benar-benar sudah dijalankan sejak dibangku kuliah. Selesai PKL dilanjutkan mata kuliah seminar dan materinya terkait dunia kewartawanan. Tahapan-tahapan praktek lapangan ini yang menjadi dasar penentuan materi yang akan menjadi bahan penelitian skripsi.
Betapa sulitnya untuk menjadi wartawan. Saking sulitnya Om Peres pun harus melakukannya sampai empat semester. Meski teman-teman kuliahnya cukup dua semester malah ada yang satu semester. Tapi Om Peres gak mau pusing, apalagi jujur Om Peres memang gak bisa menjawab pertanyaan temannya itu. Makanya Om Peres Cuma menjawab, siapa aja berhak masuk surga. Karena diantara surga-surga yang diciptakan Allah untuk umatNya, salah satunya ada surga khusus wartawan. (azhari)