Studi terbaru mengenai Gletser Thwaites di Antartika, yang dikenal dengan julukan ‘Gletser Kiamat’, telah memicu diskusi mengenai geoengineering atau rekayasa Bumi sebagai potensi solusi untuk mengatasi perubahan iklim.
Sebuah studi yang diterbitkan pada bulan Mei dan dipimpin oleh ilmuwan dari University of California Irvine serta University of Waterloo menemukan bahwa arus pasang surut yang semakin hangat mempercepat pencairan Gletser Thwaites, menyebabkan penyusutannya lebih cepat dari yang diprediksi oleh model-model sebelumnya.
Sementara itu, studi lain yang diterbitkan pada bulan Agustus dan dipimpin oleh peneliti dari Dartmouth College serta University of Edinburgh mengungkapkan bahwa Gletser Thwaites mungkin ternyata lebih tahan terhadap ketidakstabilan dan keruntuhan daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Karena masa depan Gletser Thwaites masih belum dapat dipastikan, sejumlah ilmuwan dan insinyur mulai mempertimbangkan ide kontroversial untuk mengubah lingkungan dengan tujuan memperlambat pencairan gletser tersebut.
Gletser Thwaites adalah salah satu dari serangkaian gletser yang terletak di sepanjang tepi West Antarctic Ice Sheet (WAIS) yang menghadap laut. Sebagai gletser raksasa, Thwaites berperan sebagai satu-satunya benteng yang mencegah lautan mengisi cekungan dan menyebabkan pencairan atau pergeseran es.
Kondisi ini membuat para ilmuwan dan media memberi julukan kepada Thwaites sebagai Gletser Kiamat. Pasalnya, jika gletser ini runtuh, air laut yang lebih hangat akan mempercepat pencairan WAIS dan menyebabkan kenaikan permukaan laut hingga hampir 3,3 meter. Akibatnya, banyak kota pesisir besar dan negara kepulauan kecil akan menghadapi ancaman yang sangat besar.
Pegunungan Thwaites mengalami penyusutan yang cepat akibat perubahan iklim dan telah berkontribusi sebesar 4% terhadap kenaikan permukaan laut di seluruh dunia. Setiap tahunnya, gletser ini kehilangan sekitar 50 miliar ton es. Dengan potensi kenaikan permukaan laut yang sangat besar, keruntuhan Pegunungan Thwaites dan lepasnya WAIS menjadi titik kritis dalam penelitian iklim, yang dapat mengubah peta dunia secara drastis.
Titik kritis terjadi ketika suatu sistem melewati ambang batas tertentu. Dalam konteks ini, pemanasan atmosfer dan samudra menyebabkan perubahan besar yang semakin cepat dan tidak dapat dibalik dalam sistem iklim, menciptakan dampak yang tak terhindarkan pada lingkungan global.
Pencairan Gletser Thwaites akan memicu runtuhnya West Antarctic Ice Sheet (WAIS), yang pada akhirnya menyebabkan kenaikan permukaan laut yang tidak dapat dibalik. Dampaknya akan mengancam jutaan jiwa dan mempercepat proses pemanasan es di wilayah lain, memperburuk perubahan iklim global.
Studi yang dipublikasikan di PNAS, yang dipimpin oleh peneliti dari UC Irvine dan University of Waterloo, menggunakan citra satelit resolusi tinggi serta data hidrologi untuk mengidentifikasi daerah-daerah di mana arus pasang surut hangat mengalir di bawah lapisan es, mempercepat proses pencairan gletser Thwaites.
“Memahami laju pencairan sangat penting untuk memprediksi kenaikan permukaan laut,” kata Christine Dow, profesor glasiologi di University of Waterloo dan salah satu penulis penelitian tersebut, dikutip dari Phys.
“Kami berharap butuh waktu seratus hingga 500 tahun untuk mencairkan es tersebut. Kekhawatiran terbesar saat ini adalah jika hal itu terjadi jauh lebih cepat dari itu,” ujarnya.
Meski begitu, masih ada harapan bagi WAIS. Penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan dari Dartmouth College dan University of Edinburgh menunjukkan bahwa Gletser Thwaites ternyata tidak se-rentan yang diperkirakan sebelumnya terhadap proses yang dikenal sebagai ketidakstabilan tebing es laut (marine ice cliff instability/MICI).
Hipotesis MICI menyatakan bahwa tebing es yang terbentuk oleh gletser yang mencair memiliki ketidakstabilan tinggi dan cenderung runtuh lebih mudah. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa penipisan Gletser Thwaites justru dapat mengurangi tingkat keruntuhan tebing es dan menstabilkannya. Temuan ini menekankan pentingnya pengembangan model yang lebih akurat untuk memprediksi kondisi WAIS ke depan.
Hipotesis MICI menyatakan bahwa tebing es yang terbentuk oleh gletser yang mencair memiliki ketidakstabilan tinggi dan cenderung runtuh lebih mudah. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa penipisan Gletser Thwaites justru dapat mengurangi tingkat keruntuhan tebing es dan menstabilkannya. Temuan ini menekankan pentingnya pengembangan model yang lebih akurat untuk memprediksi kondisi WAIS ke depan.
Pada bulan Juli tahun ini, sekelompok ahli glasiologi yang tergabung dalam Climate Systems Engineering Initiative di University of Chicago mengeluarkan laporan yang mendorong perlunya penelitian lebih lanjut tentang geoengineering gletser. Laporan ini merespons ancaman yang ditimbulkan oleh pencairan gletser yang semakin cepat dan dampaknya terhadap perubahan iklim global.
John Moore, seorang profesor di Arctic Center, University of Lapland, dan salah satu penulis laporan tersebut, menekankan pentingnya memulai penelitian dan upaya geoengineering gletser saat ini. Menurutnya, tindakan preventif perlu segera diambil untuk mengatasi dampak buruk yang ditimbulkan oleh pencairan gletser yang semakin cepat.
“Butuh waktu 15 hingga 30 tahun bagi kita untuk memahami dengan cukup baik guna merekomendasikan atau mengesampingkan intervensi rekayasa geoglasial apa pun, yang berarti intervensi tersebut harus segera dimulai agar siap,” ujarnya.
Beberapa ide yang diusulkan untuk melindungi Thwaites dan gletser lainnya yang berakhir di laut terbilang radikal. Salah satunya adalah menciptakan tirai bawah laut raksasa yang dirancang untuk menghalangi sebagian arus pasang surut hangat, sehingga dapat mengurangi dampaknya terhadap pencairan es gletser.
Tirai tersebut dapat dibuat menggunakan bahan kain khusus atau bahkan gelembung udara, dengan pipa berlubang yang ditempatkan di antara Thwaites dan air hangat. Pipa tersebut akan dipompa dengan udara untuk menciptakan penghalang yang mengurangi aliran air hangat ke bawah es, dengan tujuan memperlambat proses pencairan gletser.
Menurut Gernot Wagner, seorang ekonom iklim di Columbia Climate School, intervensi geoengineering glasial seperti ini bisa menjadi solusi yang sangat bermanfaat jika diterapkan dengan tepat. Teknik ini dapat membantu memperlambat pencairan gletser yang cepat dan mencegah dampak lebih lanjut dari perubahan iklim yang semakin parah.
“Untuk beberapa titik kritis kutub seperti es laut Arktik dan WAIS, geoengineering glasial tampaknya menjadi satu-satunya cara bagi kita untuk lebih atau kurang menjamin bahwa kita dapat mengatasi titik kritis ini,” sebutnya.
Akan tetapi, banyak dari ide-ide ini menghadapi tentangan dari para ahli glasiologi dan ilmuwan iklim yang menyatakan bahwa ide-ide tersebut akan sulit atau tidak mungkin dicapai dan mengalihkan perhatian dari pembahasan yang lebih penting tentang pengurangan emisi karbon. Dengan terlalu mengandalkan strategi seperti geoengineering, para ilmuwan ini berpendapat bahwa kita mungkin gagal bertindak untuk mengekang emisi.
“Ketika kita berbicara tentang rekayasa geo glasial, kita perlu mengatakan yang sebenarnya, yaitu bahwa itu bukanlah solusi untuk perubahan iklim, melainkan semacam pereda rasa sakit. Geoengineering tidak menyelesaikan apa pun, jadi kita perlu menggunakan waktu yang diberikannya untuk mengatasi emisi,” tutupnya.