SYECH Maghribi Maulana Malik Ibrahim melangkah tenang. Hembusan angin menyapu lembut dan membuatnya tersentak. Ada kerut kecil seketika itu menggurat di kening. “Masyaallah. Sahabat Penyairkah itu?”
Kalimat itu terucap spontan berbarengan udara berubah dingin. Kemudian seperti bertemu ditengah mengubah udara jadi sejuk sebelum bergulung dan berubah jadi hangat. Manusia dikenal dengan sebutan Kanjeng Gresik tak dapat menyembunyikan keheranannya sekaligus kaget, tadkala menangkap kelebat hitam putih seolah melayang di depan mata. Tak sampai Kanjeng Gresik melanjutkan ucapan ketika mendadak sayub sayub terbawa angin terdengar syair. Teramat halus namun terang sekali di telinga.
Surat buat tuan….
Kepada yang terhormat
Tuan
Hormat hamba,
Bumi sudah tak sama
Langit hamba merah
Tanah yang terpijak panas
Bagai bara api
Inikah bumi hamba….
Wajah bumi hamba dulu menawan
Tuan
Bumi hamba kian terpuruk
Hanya do’a sanggup hamba panjatkan
Semoga Yang Maha Kuasa membuka pintu hati
Tuan yang terhormat….
Tergugu Kanjeng Mahgribi. “Suaranya aku kenal. Syairnya pernah kudengar. Tak kelirulah aku. Astagafirullah.., agaknya benar wisik kudengar… Duh, bakal kejadian apa menimpa tanah Jawa….”
Kehangatan sesaat itu kembali dingin. “Duhai sahabat Syech bergelar Penyair Gila Patah Hati. Pendengaranku pasti, cuma hati ini bertanya. Kenestapaan apa agaknya memaksa dirimu kembali ke percaturan manusia. Tak dapat aku menebak apa tengah terJadi. Tak bisa aku mengira gejolak batin dalam syairmu.”