Mediaseruni.co.id – RADEN PATAH yang dikawal Senapati Kimbang Serana ternyata kesasar ke Gunung Wilis dan dihadang gerombolan rampok bayaran Mahisa Kicak. Putra Dewi Kian ini memang berangkat duluan dari Ampedenta untuk menghindari mata-mata Mahisa Kicak.
Memang, Raden Patah yang menjadi incaran Mahisa Kicak. Sejenak putra Ranawijaya dari Selir Dewi Kian ini tajamkan mata setelah hentikan kuda putihnya. “Paman, sepertinya kita kesasar. Kalau benar penglihatanku, didepan itu adalah Gunung Wilis.”
Kimbang Serana menghela napas. “Benar, Rsden. Kita kesasar. Padang pasir ini sungguh membingungkan, sulit mencari arah yang pasti.”
“Hmm, kalau di depan itu adalah Gunung Wilis, berarti kita mengarah ke selatan, lalu dimana arah utaranya…”
“Sebaiknya, kita terus saja Raden. Kalau tidak salah di depan sana ada perkampungan, kita tanya penduduk disana.”
Baru saja keduanya hendak menggebrak kuda mendadak terdengar bentakan keras. “Berhenti!”
Saat itu didepan Raden Patah menghadang belasan orang bertampang kasar. Mereka bermunculan dari balik batu-batu besar. Seorang tinggi besar memanggul parang besar tertawa keras.
“Agaknya hari ini untung besar kita. Lihat siapa didepan.” Suara orang itu, agaknya dialah pimpinannya. Di belakangnya, lima orang berperawakan kasar menenteng parang, dan salah satunya menyahuti.
“Oh, oh, oh… Tidak salah. Inilah anak selir itu. Bukankah benar raden, ha, ha, haa.”
“Woii, Darta! Jaga mulutmu! Kau harus menyebut Gusti Selir. Dan sebutan raden, kau menyebutnya lebih lembut. Tunjukanlah santunmu sebagai kawulo alit. Ha, ha, ha…”
Yang dipanggil Darta balas tertawa terbahak-bahak. “Ah, betul.., betul. Aku harus menyapa takjim dan patuh. Bukan begitu, Ki Sarpa… Ha,ha, haa…”
Lelaki bernama Ki Sarpa inilah memang pimpinannya. Sembari tertawa dia melangkah mendekati Raden Patah. Kimbang Serana sedari tadi diam siaga. Mereka memang tak mengenal Kimbang Serana.
“Raden, silahkan turun dari kuda, dan menyerahlah secara baik-baik. Maka tak seujung pun kulit raden yang terluka. Kami akan menyerahkan Raden pada tuan Mahisa Kicak.”
Ringan Raden Patah melompat dari kuda disusul Kimbang Serana. Sejak ibunya tadi dihina sebetulnya sudah panas kupingnya. Karenanya, belum lagi kaki menjejak tanah, kering dipinggang sudah pindah ke tangan, dan “Beuuuttt!”
Darta yang posisinya paling dekat sempat gelagapan tak menyangka orang yang diremehkan bisa melakukan itu. “Begal-begal busuk! Kalian boleh menawanku, tapi setelah nyawaku terbang.”
Disamping Pangeran Palembang, Senapati Kimbang Serana memaksa Ki Sarpa harus meliuk dua kali menghindari kelebatan pedang Kimbang Serana. Bahkan dua orang disampingnya tak urung terjajar kebelakang, kena ditendang pengawal pribadi Dewi Kian.
Hanya sekejap gerakan cepat keduanya, enam orang bertampang kasar sontak mengeroyok Kimbang Serana, dan sebagian lagi membantu ki Darpa mengerubuti Raden Patah.
Putra Brawijaya V cukup lihai. Meski masih berusia muda tapi kanuragannya tak bisa dianggap enteng. Dialah yang mendapat pelajaran khusus Kanjeng Ampel. Dari Kanjeng Gresik Raden menurunkan pula ilmu silat Wijaya Kesumah. Sementara Kimbang Serana mengajarkan pula inti tertinggi ilmu silat Garuda Mas.
Meski belum mahir memainkan ilmu silat Wijaya Kesumah namun sanggup membuat para pengeroyoknya kalang kabut.
“Bukk!”
“Dukk!” dan “Plakk!” Tiga orang terjajar ke belakang. Masing-masing pegangi wajah, dada dan punggung yang terasa panas.
Namun yang seorang bernasib sial. Tak tahu keris ditangan Raden Patah berputar cepat malah coba membokong. Keruan saja “Crass!”
Sekalian mata memandang melotot pemandangan didepan. Ki Sarpa berjarak satu langkah memandang tak berkesip. Ki Darpa melompat mundur. “Ki, keris apa ditangannya! Bekas luka itu tak mengeluarkan darah. Tak ada teriakan, tapi langsung mampus!”
Ki Sarpa tak langsung menyahut, sebaliknya mulai berhati-hati. “Entahlah. Tapi.., apa itu kerisnya…”
“Apa, Ki?”
“Guruku pernah cerita, ada semacam keris begitu. Tapi, ah.., mana mungkin. Keris itu milik Senapati Tunggal Jagat Adityawarman.” Suara Ki Sarpa setengah berbisik.
“Apakah dia… Ah, jangan-jangan anak keturunan Adityawarman…”
“Maksudmu… Keturunan Sang Pencium Jejak itu, Ki…”
“Tolol! Aku cuma menduga…”
“Tapi, kalau benar dugaanmu, celakalah kita. Betapapun Adityawarman itulah Sang Terhormat yang mesti kita hormati. Dialah yang pernah menaklukan segala rampok di wilayah pesisir.”
“Tutup mulutmu! Tak mungkin anak keturunan Adityawarman. Dialah putra Ranawijaya. Jadi jangan berpikir macam-macam…”
Dan… “Wutt!” Kimbang Serana lancarkan serangan cepat. Namun mudah saja dihindarkan Ki Sarpa. Sedang Ki Darpa kembali melompat mengeroyok Raden Patah.
Memang, betapapun hebat keris ditangan Raden Patah, mewarisi pula ilmu-ilmu sikat hebat namun orang-orang yang mengeroyoknya bukanlah orang-orang berkepandaian rendah. Mereka inilah gerombolan rampok Gunung Wilis, yang amat ditakuti.
Demikian pun Ki Sarpa, dialah dukun sakti berilmu tinggi yang memiliki beragam ilmu kesaktian. Dibantu pula lima orang anak buahnya yang rata-rata berilmu tinggi. Sehingga tidak heran dalam beberapa saat, baik Raden Patah maupun Kimbang Serana terdesak hebat.
“Raden, sebaiknya tinggalkan tempat ini. Biarlah mereka paman yang menghadapi.” Suara Kimbang Serana setelah berhasil mendekati Raden Patah.
“Tidak paman! Kalau harus mati, aku rela mati di jalan Allah. Jangan paman menghalangi.”
“Tapi, raden…”
Dan… “Wuttt!”
Raden Patah nyaris disambar parang Darpa. Sedang Kimbang Serana melompat kesamping menghindari empat parang yang berkelebat cepat. (bersambung)