Mediaseruni.co.id – Diluar dugaan rombongan besar Ampeldenta dan Gresik yang dipimpin Raden Makdum malah tersesat sampai Parangtris. Padahal rombongan yakin, setelah keluar dari Kendeng, sungai yang mereka susuri adalah Bengawan Solo.
Bengawan Solo mengalir ke selatan, kalau kesasar akan sampai di Pajang. Dan Handayaningrat barangkali akan menerima mereka sebagai tamu kadipaten.
Tetapi yang terjadi rombongan besar ini malah terbawa sampai Kali Oyo. Kali ini yang memotong Imogiri sampai Parangtritis. “Astagafirullahhal adzim… Kita tersesat…”
Disebelah Raden Makdum, putra Nyai Ageng Pinatih Raden Abdul Fakih alias Raden Paku melakukan hal serupa, istigfar. “Sepertinya begitu Raden, kita justru menjauhi Jatiwangi.”
Sementara Raden Syarifudin menghela napas panjang. Sekejap tadi diapun beristigfar. Disampingnya Raden Makdum menampakan keheranan.
“Aneh, sungguh aneh. Padahal kita yakin sudah menempuh arah yang benar. Aliran sungai yang kita lalui memang Bengawan Solo. Lagipula bukankah dipertengahan kita menyeberang. Berarti berdasarkan perhitungan harusnya menempuh arah utara. Mengapa justru…”
Terputus. Putra Ki Ageng Ampel kian menampakan keheranannya. “Bengawan Solo mengalir dari timur ke barat, lalu berbelok ke selatan. Dan kita mengambil arah utara. Tapi…”
Terhenti. Raden Makdum sempat beristigfar ketika mendadak melesat anak panah dan menancap pada batang pohon tak jauh dari posisinya. Diujung mata panah tergantuk secarik daun lontar.
“Raden, lihat, ada gulungan lontar.” Suara Raden Paku.
“Raden Syarifudin yang posisinya paling dekat dengan anak panah segera meraih gulungan lontar dan menyerahkannya pada Raden Makdum yang segera membukanya.
“Assalamualaikum, Raden. Sebaiknya segera lanjutkan perjalanan, Mahisa Kicak dan pasukannya sudah mendekati Raden.”
Para Kesatria Darah Jingga inipun saling pandang. Raden Makdum bergumam pelan. “Hmm, siapa penyampai pesan ini…”
Raden Syarifudin mendekat. “Kalau melihat mata panah ini, sepertinya aku mengenali. Seperti milik santri-santri Juwana. Ki Ageng Ngudunglah mengajarkan santrinya membuat mata panah untuk berburu.”
“Maksud Raden, penyampai pesan adalah saudara santri Juwana?”
“Entahlah. Sebaiknya kita turuti saja, tak ada salahnya juga.”
Usai ucapan itu Raden Makdum minta pendapat pini sepuh rombongan. Setelah sepakat, Raden Makdum pun perintahkan rombongan lanjutkan perjalanan. “Kita di bagian barat hutan Parangtritis Raden…”
Benar. Bagian hutan itu memang bagian barat hutan Parangtritis. Dan, tentu saja, ketimbang putra-putra Ki Ageng Ampel, manalah bisa disanding-sandingkan dengan Mahisa Kicak.
Mahisa Kicak murid berbakat Kanjeng Siti Jenak, dia pula orang asli pesisir tulen. Biar jauh di wilayah timur namun masih masuk wilayah pesisir selatan. Sudah tentu lebih menguasai wikayahnya ketimbang yang di utara. (bersambung)