Mediaseruni.co.id – Raden Paku sejak kecil memang dikaruniahi Ilmu Laduni. Sadar hawa jahat Mahisa Kicak akan mempengaruhi Jin Ifrit yang bermukim di sekitar pantai, maka dengan kekuatan doanya mengingatkan jin itu untuk bertobat kepada Allah.
Putra saudagar kaya Gresik saat itu hanya pejamkan mata. Meski telinga tak dapat mendengar namun hati cukup jelas mengatakan ada hawa jahat dari arah padang pasir sedang menghampiri sekitar pantai.
Maka seraya melapazkan Asma Allah, terdengar suaranya perlahan. “Dari golongan Ifrit pun banyak yang bertobat kepada Allah, kemudian mengabdi pada Nabi Sulaiman. Kami orang-orang yang berjalan di Jalan Allah, orang-orang yang menyebarluaskan agama Allah, maka atas nama junjungan kami, Rasulullah Muhammad Sallallahhu Alaihi Wassalam, aku perintahkan engkau bertobat…”
Berhenti disitu. Bibir anak muda yang dikenal dengan sebutan Raden Paku sebentar bergerak-gerak perlahan. Lalu… “Bismillahhir Rahmaanir Rahiim..,” kemudian “Raden, mari sama-sama kita bertakbir…”
Raden Paku melirik kearah Raden Makdum dan Raden Syarifudin. “Allahhu Akbar…”
Maka bergemalah suara takbir dari dalam hutan dimana rombongan santri Ampeldenta dan santri Gresik menyusuri sungai.
Suara takbir itu mengoyak udara dan aroma mistis serta hawa iblis yang mencengkram setiap lembar daun, lubang-lubang tanah, bilah-bilah batang pohon retak, tanah berpasir dan akhirnya menyapu laut di depan.
Sungguh dahsyat. Jauh di kedalaman laut selatan terbentuk pusaran air demikian hebat. Pusaran itu semakin besar hingga akhirnya naik keatas. Sampai akhirnya menyembur ke udara dan menciptakan ombak yang sangat besar.
Hanya sebentar keadaan seperti itu, sebelum kemudian permukaan laut tenang kembali. Aroma jahat dan suasana mistis pun sirnah. Pengaruh jahat yang dihembuskan Mahisa Kicak terputus.
“Alhamdulillah…” Suara tiga satria darah jingga hampir berbarengan. Dibelakang mereka barisan santri utama Ampeldenta dan Gresik menghembuskan naspas lega. Namun bibir mereka belum berhenti bertakbir.
Belum hilang perasaan lega itu, ketika putra Ki Ageng Ampel Raden Makdum perlihatkan wajah kaget. Barusan dia menyaksikan kelebatan orang berselubung hitam.
Belum hilang rasa kagetnya ketika dari arah mana ia melihat kelebatan itu melesat tiga batang anak panah api ke udara. Satu ke selatan, satu ke timur dan satu lagi kearah barat.
Panah api belum padam diudara sewaktu dari bagian hutan sebelah timur terdengar suara takbir ramai sekali. “Allahhu Akbar… Allahhu Akbar… Allahhu Akbar…”
“Raden, suara itu dari arah timur.” Raden Paku arahkan pandang ke timur. “Benar Raden, sepertinya saudara-saudara kita…” jawab Raden Makdum.
Sementara di arah timur terlihat rombongan besar penduduk desa. Mereka dipimpin belasan santri. Bebeapa santri terlihat tajamkan pendengaran. “Sepertinya suara takbir barusan dari arah barat…” Namun santri lain menyahut. “Bukan barat tapi timur…”
Santri yang agaknya jadi pimpinan rombongan lantas memutuskan. “Kita sepakat ke arah pantai saja. Tadi aku melihat lesatan panah api dari arah hutan disekitar pantai. Barangkali itu petunjuk.”
Terlambat. Karena pada saat bersamaan belasan orang bertampang kasar berlompatan dari punggung kuda. Seorang tinggi besar bertampang kasar dan berewokan tertawa keras. “Orang-orang tolol! Kalian kira bisa lolos dari kami, heh!?” Lalu kembali tertawa terbahak-bahak. (bersambung)