Mediaseruni.co.id – PERSETERUAN Permaisuri dan Selir Brawijaya V bukan hanya menjadi cela terjadinya perang saudara diantara anak-anak keturunan Wijaya. Tetapi juga ikut menyeret kadipaten – kadipaten baru di wilayah pesisir dan tengahan terlibat didalamnya.
Jipangpanolan yang baru saja tumbuh menjadi kadipaten kecil mau tak mau mendapat dukungan dari orang-orang Lasem. Orang-orang Lasem datang berbondong – bondong membawa bekal yang cukup. Putra Ki Ageng Ngudung Jakfar Sodiq yang memimpin rombongan hanya membawa beberapa santri utama.
Mereka akan melintasi Juwana sebelum menempuh rute Kendeng Utara. Dari akan mengambil lurus maka akan sampai di Rawa Juwana. Namun mendadak terdengar sebuah teriakan. “Tunggu…! Ki sanak, tunggu kami…”
Seorang berusia setengah baya teriak-teriak memanggil sambil berlari. “Raden, tunggu…”
Jakfar Sodiq hentikan rombongan, lalu memandang berkerut. “Bapak tua, mengapa berteriak-teriak memanggil, dan orang-orang di belakang bapak, mereka siapa.”
“Aduh, maaf raden, kami orang-orang Dusun Blora Baru di sebelah utara Dusun Blora, dan mereka teman-teman saya.”
Lelaki itu bernama Simin. “Maaf raden, apakah raden hendak ke Jatiwangi.”
“Benar, dan sebetulnya bapak hendak kemana?”
“Alhamdulillah… Syukur Gusti Allah… Kami pun hendak ke Jatiwangi, tapi kesasar. Ah, beruntunglah bertemu Raden…”
Simin lantas memceritakan kalau sebetulnya dirinya pun membawa rombongan orang-orang dusunnya. Karena kesasar bekal yang mereka bawa habis. Dia sendiri bersama teman-temannya berusaha mencari dusun terdekat untuk minta bantuan bekal.
Mengertilah putra Ki Ageng Ngudung. Dahulu, pernah dia diajak ayahnya mengunjungi pemukiman di sebelah utara Blora. Tetapi belum ada Dusun Blora Baru. Pemukiman itu masih sepi, dan hanya ada tak lebih 25 kepala keluarga.
Kalau kemudian menjadi dusun, entahlah. Barangkali saja ada sebagian warga Dusun Blora yang pindah kemudian menetap disana menjadi warganya.
Apalagi, sempat tersirab kabar Dusun Blora diserang wabah penyakit dan bencana kekeringan, sehingga warganya beramai-ramai pindah ke pemukiman di sebelah utara itu, hingga terbentuknya Dusun Blora yang baru.
Jakfar Sodiq tersenyum, orang tua didepannya menyebut Dusun Blora, padahal dulu, Blora itu ada di selatan dusunnya. “Bapak tua, sekarang rombongan bapak dimana?”
“Oh, disana raden, dibagian hutan sebelah wetan.”
“Kalau begitu mari kita jemput.”
Jakfar Sodiq lantas memanggil santri bernama Sutisnah. “Kakang, bawalah beberapa santri dan bekal. Ikutlah dengan bapak ini. Kami menyusul dibelakang.”
Santri Utama Jipangpanolan bernama Sutisnah kemudian perintahkan tiga santri membawa bekal makanan. Bersama tiga santri lainnya diapun berkelebat mengikuti Simin.
Tak lama setelah Santri Sutisnah berkelebat, dari arah depan terlihat belasan orang berseragam prajurit menunggang kuda dengan cepat. Jelas mereka ke arah rombongan Jakfar Sodiq.
Putra Ki Ageng Ngudung peringatkan rombongan. “Sepertinya kearah kita, Raden. Mau apa mereka.”
“Entahlah, kakang. Sebaiknya berhati-hati.”
Jakfar Sodiq melirik santri disebelahnya yang lantas geser gagang keris. Dibelakangnya, belasan santri Jipangpanolan tampak siaga, dan sebagian lagi merapat ke rombongan petani dan pedagang.
Akan tetapi pimpinan penunggang kuda sekonyong-konyong melompat, dan langsung menjurah hormat. “Salam, maaf mengganggu perjalanan. Bukan ini Raden Jakfar Sodiq, putra Ki Ageng Ngudung…”
Dahi Jakfar Sodiq berkerut. “Siapakah tuan? Benar, saya Jakfar Sodiq putra Ki Ageng Ngudung. Lalu, bagimana tuan mengenal saya?”
Masih dengan sikap hormat, lelaki sesungguhnya Wiratama Parta, Kepala Pengawal Kadipaten Lasem menyahut. “Ah, Raden lupa. Dahulu saya yang berkunjung ke Jipangpanolan menyampaikan surat Adipati Lasem.”
Membulatlah mata Jakfar Sodiq. “Ah, ingat saya, engkaulah Wiratama Parta, Kepala Pengawal Lasem.
“Hamba, Raden. Tetapi hendak kemanakah Raden? Dan mengapa berada di hutan seperti ini.”
Jakfar Sodiq menarik napas. “Kami dalam perjalanan ke Jatiwangi.”
“Itulah maksud saya Raden. Saya tahu Raden hendak ke Jatiwangi, tapi mengapa ke Selatan? Kan seharusnya ke Barat, Raden…”
Jakfar Sodiq tersadar, kemudian menceritakan mengapa mereka sampai di hutan ini. Wiratama Parta lantas kerutkan dahi. “Hmm, apakah orang-orang dusun yang kami temukan di sebelah Wetan?”
“Kalian bertemu dengan mereka?”
“Oh, maaf Raden. Kalau yang Raden maksud orang-orang dusun disebelah Wetan hutan ini, sebaiknya Raden batalkan pencarian. Mereka semua tewas.”
“Tewas…, apa maksudmu Wiratama?!” Jakfar Sodiq kaget. Beberapa orang dibelakangnya terlihat maju. “Benar Raden, dan kami sudah menguburkannya.”
Wiratama Parta kemudian menceritakan bahwa mereka sempat bentrok dengan orang-orang berseragam prajurit yang bentrok dengan orang-orang dusun itu. Sayang mereka datang terlambat.
“Kami tidak tahu mereka prajurit dari mana, karena tidak mengenakan tanda-tanda keprajuritan…”
Baru saja Wiratama Parta akan melanjutkan bicara mendadak terlihat kelebatan Santri Sutisnah. “Kita terlambag Raden, orang-orang Dusun Blora semuanya tewas…”
Sutisnah berucap setelah mengangguk hormat pada Wiraatama Parta. Dibelakang Sutisnah lelaki bernama Simin hanya menunduk dalam.
“Innalillahi Wainnailaihi Rojiun…” Setelah menarik napas dalam, Jakfar Sodiq pun pamit kepada Wiratama Parta. “Sekali lagi, terima kasih atas bantuan Wiratama menguburkan mereka. Dan, kami pamit melanjutkan perjalanan.”
Wiratama Parta hanya mengguk hormat. “Baik Raden, dari sini apakah Raden hendak langsung ke Jatiwangi?”
“Benar.”
“Maaf, Raden, kalau tidak keberatan, memang kami hendak kembali ke Lasem, tapi kami bisa mengawal Raden sampai Jatiwangi.”
Jakfar Sodiq tersenyum tapi menolak secara halus. “Terima kasih saudara Wiratama memperhatikan, tapi sungguh bukan kami menolak. Lagipula, seberapa jauhnya Jatiwangi.”
Wiratama Parta pun tersenyum. “Kalau begitu berhati-hatilah Raden.”
Usai berucap Wiratama Parta kembali menjurah hormat, sebelum perintahkan pasukannya bergerak. (bersambung)