Mediaseruni.co.id – Gema takbir yang berkumandang di Tanjung Kali Mati terkoyak suara riuh pasukan berkuda yang dipimpin Mahisa Kicak. Mereka muncul dari tiga arah dan langsung buat formasi menjepit rombongan santri Ampeldenta dan Gresik.
Mahisa Kicak, murid berbakat Kanjeng Siti Jenar menunggang kuda hitam dibarisan paling depan memandang tajam. Disebelahnya adalah Dukun Sakti Ki Lontang perdengarkan suara mendengki. “Habislah kalian orang-orang Ampel! Ha, ha, ha…”
Raden Makdum didampingi para ketua rombongan hanya menatap dingin. Raden Paku bergeser kearah Raden Syarifudin yang sudah siaga. Sementara santri-santri utama Ampeldenta dan Gresik sudah pula perintahkan rombongan siaga.
Mahisa Kicak bergerak maju. Setelah sapukan pandangan diapun merutuk. “Sial! Anak selir itu tak ada!”
Raden Makdum yang mendengar rutukan itu cuma tertawa dingin. “Kalian mengira Raden Patah bersama kami? Keliru. Saat ini barangkali beliau sudah bersama para pinisepuh di Jatiwangi.”
Mahisa Kicak semakin geram. “Keparat! Kalian sengaja meloloskannya!”
“Bukan kami yang meloloskannya, tetapi kalianlah yang kalah bersiasat. Kalian dengan siasat keji merasa jumawa mampu menangkap Raden Patah.”
“Diam, kau keparat! Tak mungkin anak selir itu lolos. Semua pintu keluar sudah aku jaga.”
“Itu siasatmu. Tapi tahukah kau kalau beliau itulah pewaris siasat perang Senapati Tunggal Adityawarman?”
Mendengar nama Adityawarman disebut Mahisa Kicak langsung tergugu. “Jangan membual kau anak Ampel.”
“Bukan membual, tapi itulah kenyataan. Kalianlah yang kurang cermat menilai siapa adanya beliau.”
Mahisa Kicak melotot. Dukun Sakti Ki Lontang yang memang tidak suka terhadap orang-orang Ampeldenta dan Gresik langsung mendengki. “Tuan Mahisa, tak perlu berbasa-basi, langsung kita habisi saja.”
Mahisa Kicak menggeram dan langsung mengiyakan. Tetapi perintahnya tertahan. Didahului lesatan anak panah dibawah kuda murid berbakat Kanjeng Siti Jenar, tedengar teriakan-teriakan keras.
“Hidup Mataram… Hidup Mataram….” Disusul berlesatannya barisan orang-orang berseragam hitam dari tiga arah sambil menenteng busur panah. Masing-masing barisan berjumlah 11 orang. Mereka langsung membentuk formasi melindungi rombongan santri. (bersambung)