Mediaseruni.co.id – Ki Landung, Pimpinan rombongan penduduk dusun sekitar pesisir selatan mengabarkan, mereka melihat pasukan berkuda dipimpin Mahisa Kicak bergerak ke arah pantai.
“Pasukan berkuda… Ah, pasukan dari mana…” Kiai Mustopa nampak kaget.
“Entahlah kiai, tapi saya mengenali kuda yang ditunggangi kuda-kuda dari Keling.”
Melengaklah Kiai Mustopa. Maka tanpa basa basi lagi, segera dia perintahkan rombongan melanjutkan perjalanan ke arah pantai.
Dalam kejap bersamaan, belasan orang mengenakan selubung hitam seperti kucing hitam berkelebatan ke arah yang sama.
Ternyata tidak hanya belasan orang itu, dari bagian hutan sebelah utara, selatan dan timur juga berkelebatan orang-orang berseragam serupa ke arah yang sama. Mereka berkelebat-kelebat sambil menenteng busur panah.
Kembali pada rombongan besar yang dipimpin para Kesatria Darah Jingga, mereka tidak tahu saat itu berada dimana. Baik Raden Makdum, Raden Paku maupun Raden Syarifudin sesekali saling melirik, menyaksikan pemandangan di depan.
Jelas sekali dari raut wajah ketiganya memperlihatkan rasa kekhawatiran. Kejap itu di depan mereka membentang laut lepas mengarah ke samudera selatan.
Sedang daratan yang dipijak terapit dua aliran sungai yang langsung menyambung ke laut. “Raden, kita sudah sampai diujung jalan. Sepertinya tanah yang kita pijak adalah tanjung daratan. Dan, di depan kita laut.”
Raden Paku menghela napas. Didepannya Raden Makdum hanya terdiam menatap kedepan. Raden Syarifudin hanya perdengarkan suara istigfar.
“Kalau tanah yang kita pijak ini batas perjalanan, maka kita sebagai manusia hidup yang dikaruniahi hak dan kewajiban, maka wajib mempertahankan hak kita sebagai manusia hidup,” suara Raden Syarifudin parau.
Dibelakang Raden Syarifudin, para pimpinan rombongan perdengarkan suara istigfar. “Sebagai manusia hidup dan manusia-manusia yang memperjuangkan agama Allah, kita diperbolehkan untuk berperang memerangi orang-orang yang memusuhi kita.”
Ki Ageng Tunjungan pun beristigfar. “Perintah itupun sudah jelas dalam ajaran agama kita.”
Para pinih sepuh rombongan hanya perdengarkan suara istigfar. Raden Makdum masih terdiam perhatikan wajah-wajah santri di depannya. Rata-rata masih belia.
“Kita tak punya pilihan, kita harus melawan Raden.” Suara Raden Paku.
“Astagafirullahhal Adzim… Bagaimana orang-orang yang bersama kita.”
“Mereka para santri dan penduduk desa, mereka siap mati Syahid.”
“Usia mereka sebagian belum lagi akil baliq.”
“Mereka orang-orang yang mendapat petunjuk. Orang-orang yang sudah memilih jalannya. Yakni Jalan Allah. Apakah Raden meragukannya?
Raden Paku pandangi wajah Raden Makdum lekat-lekat. Putra Ki Ageng Ampel hanya perdengarkan helaan napas lembut. Tak ada pilihan. Maka setelah mendapat restu para pimpinan rombongan, usai mengucap kalimat “Bismillah…” Putra Kanjeng Ampel itupun berseru lantang. “Allahhu Akbar….”
Maka bergema suara takbir detik itu juga. Menggempita, seakan mengoyak suasana subuh yang telah berganti pagi. Raden Paku dan Raden Syarifudin bersama santri-santri utama Ampeldenta dan Gresik raba gagang keris. “Allahhu Akbaar….” (bersambung)