Mediaseruni.co.id – ROMBONGAN Santri Gunung Jati yang dipimpin Ki Anom yang membawa petani sekitaran Gunung Jati yang hendak bergabung bersama Kanjeng Ampel di Hutan Jati Wangi, tersesat jauh ke dalam hutan. Masih samar pandangan di depan ketika mendadak Kepala Dusun Losari itu hentikan rombongan.
“Ada apa, Ki. Kenapa berhenti.” Orang disebelah Ki Anom adalah Ki Sarmin. Dia pedagang hasil bumi di Dusun Losari, merasa heran kepala dusun itu hentikan rombongan.
“Aku merasa aneh. Harus sudah mencapai bagian hutan yang terang. Semalaman kita berjalan tanpa henti, menurut perhitungan harusnya kita sudah keluar dari hutan.”
Ki Anom sapukan pandang berkeliling. Keseluruhan masih berupa hutan gelap dan lebat. “Lihat belukar di depan, belukar seperti itu biasanya tak tumbuh di pinggir hutan. Hmm, pohon yang tumbuh pun kurasa makin besar dan tinggi, juga sinar matahari rasanya tak sampai ke tanah.”
“Kalau begitu kita kesasar Ki…”
“Hmm, entahlah. Sepertinya begitu. Aku tak tahu ada dimana kita saat ini.” Kepala Dusun Losari sapukan pandangan ke depan. “Hmm, berhenti pun percuma, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan. Semoga arah kita benar…”
Kepala Dusun Losari baru selesai bicara ketika dari arah depan sayub-sayub terdengar suara orang bertakbir. Ramai sekali.
“Suara orang bertakbir, Ki. Apakah ada rombongan lain dan mereka saudara-saudara kita…” Ki Sarmin setengah berbisik.
Kepala Dusun Losari tajamkan pendengaran. “Benar, itu suara orang bertakbir, tapi siapa… Hmm, tunggu disini Ki, biar kulihat ke depan…”
Selesai berucap Ki Anom langsung melesat. Di balik rerimbunan belukar suara takbir semakin jelas. “Allahhuakbar, Allahhuakbar… Allahhuakbar…”
“Hai, siapa mereka. Aku tak mengenal seorangpun dari mereka…” Ki Anom tak sempat melanjutkan bergumam ketika dari arah depan terdengar teriakan. “Hentikan rombongan! Lihat ada rombongan seperti kita di depan. Barangkali kesasar.”
Kepala Dusun Losari merasa tak perlu lagi bersembunyi. “Assalamualaikum…”
Kepala rombongan didepan setengah terkejut. “Waalaikumsalam…”
Dialah Ki Warta pemimpin rombongan tersebut. Usianya sepantaran dengan Ki Anom. “Ki Sanak, siapakah engkau? Apakah dari rombongan di depan?”
Ki Anom anggukkan kepala, kemudian memperkenalkan diri kepada Ki Warta. “Oh, jadi Ki Sanak rombongan Gunung Jati dari Losari dan Slawi. Syukur alhamdulillah…”
Ki Warta kemudian memperkenal kedua pemuda di sebelahnya. “Mereka ini Karto dan Mijan, putra-putra saya, dan kami dari Dusun sekitar kaki Gunung Rogojembangan.”
“Lalu, Ki Sanak mau kemana.”
“Hutan Jatiwangi.”
“Jatiwangi…”
“Benar. Oh, apakah Ki Sanak juga akan ke Jatiwangi…” Kepala Dusun Rogojembangan Warta bulatkan mata.
Ki Anom tersenyum. “Kalau begitu kita satu tujuan Ki Sanak. Tapi, siapakah yang menyampaikan pada Ki Sanak kalau Hutan Jatiwangi telah dibuka.”
“Orang-orang berselubung kain hitam.”
“Orang berselubung kain hitam…” Ki Anom kerut dahi. Dan Ki Warta pun sadar lantas menjelaskan.
“Mereka rampok-rampok budiman. Mereka selalu mengunjungi dusun-dusun miskin dan terpencil. Rogojembangan salah satu yang selalu dikunjungi. Mereka datang membagi-bagi uang dan makanan. Merekalah yang mengajarkan kami bahasa Kalijaga…”
Ki Anom semakin heran. “Bahasa Kalijaga.. Bahasa apa Ki?”
“Islam.”
“Islam…”
“Ya, Islam. Asyahaduallah Ilaaha Ilallahu Waasyahaduanna Muhammadarrasullah… Kemudian Subhanallah, terus Allahhuakbar, lalu Astagafirullahhaladzim, dan masih banyak lagi. Orang-orang berselubung hitam itulah yang mengajarkan.”
Mendengar itu Ki Anom pun merasa geli. Karena sesungguhnya barusan yang dia dengar itulah Dua Kalimasyahadat dan Asma-asma Allah. Namun, karena tak ingin menyinggung perasaan Kepala Dusun Rogojembangan Ki Anom mengangguk angguk saja. (bersambung)