PETANI yang sesungguhnya berjuluk Maling Budiman konsentrasikan penuh sasaran pada lingkaran kayu yang jadi target anak panah. Rentangan busurnya terlihat pendek saja.
Dan… Siuuutt! Clepp!” Sungguh luar biasa. Anak panah itu kembali membela anak panah lain yang sebelumnya membelah anak panah yang lain. Raden Sungkolo menggeram. Gilirannya. Sekali busurnya terentang anak panahnya melesat deras dan nyaris berebutan titik dengan dua anak panah lainnya.
Penontonpun kembali dibuat riuh. Namun Raden Sungkolo menunjukkan lagi sikap tak terpuji. “Eh, anak petani, aku yakin kaulah mencuri ilmu dari seorang ahli memanah jempolan. Kalau tidak bagaimana bisa
petani miskin kayak bapakmu membayar mahal padepokan memanah.”
Syahid melengos. Tertawa kecil saja dia. Lalu setengah bergumam ucapnya pendek. “Sebetulnya aku menaruh kasihan terhadapmu. Matamu melek indahnya dunia telah engkau saksikan, nikmatnya hidup pun sudah kau rasakan tapi engkau tetap berada dalam kegelapan. Dengarlah hai Sungkolo, bukankah itu namamu?! Ada tiga kriteria kegelapan. Pertama, gelap di dalam perut, kedua gelap di dalam rahim dan terakhir gelap dalam selaput yang menutupi anak dalam rahim. Dan engkau tidak lagi berada diantaranya, namun keseluruhannya masih gelap dimatamu. Padahal engkau telah dikaruniahi suatu kepandaian yang gemilang.”
Keruan saja Sungkolo melotot gusar. “Anak petani kurang ajar! Tutup bacotmu! Tak perlu menggurui aku!” Raden Mas Syahid tertawai berderai. “Maaf kalau kau tersinggung. Aku cuma sekedar mengingatkanmu bahwa kaupun memiki kemampuan luar biasa meskipun tanpa kau embel embeli prilaku kurang terpuji.”
Jahanam! Ternyata hebat bicaramu !” Sungkolo mulai terganggu. Syahid cuma tersenyum. Namun Sungkolo sudah buru-buru melengos. Beberapa yang mendengar
nampak menahan senyum.
Syahid menahan senyum. Betapapun dia menyadari, pertandingan ini masuk dalam adu ketangkasan, meski pada kenyataan banyak juga yang memanfaatkan sebagai arena berjudi. Dalam hal-hal begini selalu Syahid nenunjukkan sikap kesatrianya. Padahal dia inilah dikenal sebagai seorang bringas bahkan telengas. Tak pandang siapa kalau menghalangi pandangannya apeslah orang itu. Dan kali ini tampak lain sekali, ia lebih terlihat sebagai seorang penyabar.
Pada kejap lain tiga peserta pemanah telah menggantungkan busurnya. Raden Sakurungan memastikan dirinya sebagai pemenang ke tiga setelah barusan menancapkan anak panah terakhirnya. Kini
tenang memperhatikan dua orang disampingnya. Tampang Raden Sungkolo kelihatannya begitu tegang menatap pada rentangan busur panahnya. Namun sayang, ia tergesa-gesa melepaskan anak panahnya berbarengan lesatan kilat anak panah Syahid meluncur kesasaran.
Dua anak panah itupun laksana berlomba menderu deras membelah udara. Hanya sesaat pemandangan itu berlangsung, keseluruhan lapangan panahan mendadak menggempita.
Hebat. Tiga batang anak panah berturut turut terbelah dua. Panah terakhir yang dilepaskan putra Tumenggung Wilwatikta di Tuban hampir tidak bisa dipercaya sanggup melesat diantara cela-cela sempit tiga anak panah sekaligus. Dengan begitu berarti lingkaran kecil ditengah lingkaran sasaran tersebut menjadi penuh oleh anak-anak panah.
Dan sudah menjadi peraturan maka anak panah yang tepat pada bulatan kecil ditengah itulah memiliki nilai dua. Sehingga dengan anak panah terakhir itu, maka Syahidlah yang jadi pemenangnya.
Syahid masih sempat mengerling kearah Raden Sungkolo dan Raden Sakurungan sebelum melangkah tenang kearah panitia lomba panah.
Seorang petugas tinggi besar dengan tampang kasar brewokan menyerahkan tiga bungkusan besar daun jati dan sudah dilipat rapi. Syahid menerima tiga bungkusan yang disodorkan.
Petugas panitia bertampang sangar lantas berucap. “Silahkan ke dalam dan menghitung keseluruhannya.” Ia berpaling kearah pondokan kecil dibelakangnya. Sama sekali Syahid tak menunjukkan reaksi tapi berucap dingin. “Aku percaya!”
Petugas itupun mengangguk.
*
RADEN Mas Syahid baru menyadari hari menjelang malam ketika menyapu pandang berkeliling. Seharian penuh ia berada di lapangan panahan. Sadar begitu diapun beranjak pergi.
Sebetulnya ia tertarik untuk menyinggahi lapak lapak dadu dilapangan seberang. Biasanya semakin malam justru lapak-lapak dadu itu semakin ramai. Disamping paseran dengan tledek tledek aduhainya.
Namun kali ini agak lain suasana hatinya yang mendadak jadi tak tenang. Dan, perasaan itu hanya sekejap dirasakan ketika tiba tiba saja terdengar suara orang menegur setengah menghardik.
“Anak petani comberan bangsat! Belum selesai urusan kita. Mau kemana, he!?” Raden Sungkolo rupanya. Anak muda tinggi kekar itu agaknya masih berpenasaran hebat. Syahid berbalik. Dan keningnya serentak berkerut menyaksikan manusia sombong didepannya bertolak pinggang. (bersambung)