Anomali cuaca sedang melanda berbagai belahan dunia, termasuk fenomena menarik seperti Gunung Fuji yang terlambat bersalju pada bulan Oktober, serta hujan salju pertama kali yang tercatat di Gurun Al Jawf, Arab Saudi.
Sepanjang 2024, Indonesia mencatatkan rekor suhu panas yang luar biasa, dengan suhu harian mencapai 38,4 derajat Celsius. Rata-rata suhu bulanan tahun ini lebih tinggi hampir satu derajat Celsius dibandingkan dengan 30 tahun terakhir. Lantas, bagaimana dengan suhu di Indonesia pada tahun depan?
Menurut Pandangan Iklim 2025 atau Climate Outlook 2025 yang dirilis oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bulan ini, diperkirakan tidak akan terjadi anomali iklim di Indonesia sepanjang tahun 2025.
Prediksi ini didasarkan pada kondisi netral ENSO (El Niño-Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) yang diperkirakan akan bertahan sepanjang tahun 2025. Selain itu, fenomena La Niña yang lemah diprediksi akan terus berlangsung hingga awal tahun 2025.
Suhu Panas dan Curah Hujan
Meski begitu, suhu udara permukaan rata-rata bulanan di Indonesia sepanjang 2025 diprediksi akan mengalami anomali, dengan kenaikan suhu berkisar antara +0,3 hingga +0,6°C pada periode Mei hingga Juli 2025 (dengan rata-rata +0,4°C), yang lebih hangat dibandingkan kondisi normal. Wilayah yang perlu diwaspadai terhadap anomali suhu tinggi mencakup Sumatera Bagian Selatan, Jawa, NTB, dan NTT.
“Berdasarkan kondisi dinamika atmosfer dan laut tersebut, BMKG memprediksi sebagian besar wilayah Indonesia pada 2025 akan mengalami curah hujan tahunan pada kategori Normal dengan jumlah curah hujan tahunan berkisar antara 1000 – 5000 mm/tahun,” ungkap Dwikorita di Jakarta, Senin (4/11).
Dwikorita menjelaskan bahwa sekitar 67% wilayah Indonesia diperkirakan akan mengalami curah hujan tahunan lebih dari 2.500 mm (kategori tinggi). Wilayah-wilayah yang berpotensi mengalami curah hujan tinggi ini meliputi sebagian besar Aceh, sebagian Sumatera Utara, sebagian besar Sumatra Barat, sebagian Riau bagian barat, sebagian Jambi, sebagian besar Bengkulu, sebagian Sumatera Selatan, sebagian besar Kepulauan Bangka Belitung, sebagian Lampung bagian utara, sebagian Banten, sebagian Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah bagian barat, sebagian kecil Jawa Timur, sebagian besar Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi bagian tengah dan selatan, sebagian Bali, sebagian kecil Nusa Tenggara Timur, sebagian besar Kepulauan Maluku, dan sebagian besar Papua.
Selain itu, sekitar 15% wilayah Indonesia diperkirakan akan mengalami curah hujan yang “Atas Normal”. Wilayah-wilayah yang diprediksi akan mengalami hal ini meliputi sebagian kecil Pulau Sumatera, sebagian kecil Kalimantan Timur bagian timur, sebagian Sulawesi bagian tengah dan utara, sebagian kecil Sulawesi Selatan, sebagian kecil Sulawesi Tenggara, sebagian kecil Nusa Tenggara Timur, sebagian kecil Kepulauan Maluku, dan sebagian Papua bagian tengah.
“Terdapat pula 1 % wilayah Indonesia yang diprediksi mengalami hujan tahunan di bawah normal yaitu meliputi sebagian kecil Sumatera Selatan bagian barat, sebagian kecil Nusa Tenggara Timur, sebagian kecil Maluku Utara, sebagian Papua Barat bagian utara,” imbuhnya.
“Namun juga perlu diwaspadai wilayah-wilayah yang akan mengalami kondisi hari tanpa hujan yang berkepanjangan terutama di Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur,” tambah Dwikorita.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, mengungkapkan bahwa dalam Pandangan Iklim 2025, BMKG juga memberikan sejumlah rekomendasi untuk sektor-sektor yang terdampak oleh fenomena iklim tersebut. Salah satunya adalah terkait curah hujan di tahun 2025 yang diprediksi akan berada dalam kisaran normal hingga atas normal. Kondisi ini dipandang sangat mendukung upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan di wilayah-wilayah sentra pangan.
Ardhasena menambahkan bahwa untuk wilayah sentra produksi pangan yang diprediksi akan mengalami curah hujan bawah normal, tindakan antisipasi sangat diperlukan. Beberapa langkah yang disarankan antara lain penyesuaian pengelolaan aktivitas pertanian, seperti pola tanam dan pengelolaan ketersediaan air. Selain itu, pemilihan bibit komoditas yang lebih sesuai dengan kondisi iklim yang diprediksi juga menjadi langkah penting untuk menjaga ketahanan pangan di daerah tersebut.
“Dengan upaya dukungan intensifikasi seperti irigasi dan upaya pendukung lainnya, wilayah sentra produksi pangan tersebut masih berpotensi menghasilkan produktivitas tanaman pangan yang baik,” tuturnya.
Waspada Bencana Hidrometeorologi
Ardhasena melanjutkan, untuk wilayah yang diprediksi mengalami curah hujan tahunan melebihi kondisi normal pada 2025, perlu diwaspadai potensi kejadian hidrometeorologi ekstrem basah. Dampak dari kondisi ini, seperti banjir dan tanah longsor, harus diantisipasi, terutama pada puncak musim hujan. Oleh karena itu, langkah-langkah mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana hidrometeorologi sangat penting untuk mengurangi risiko dan dampaknya bagi masyarakat.
Selain itu, langkah antisipatif juga harus diterapkan di wilayah yang diperkirakan mengalami curah hujan di bawah normal. Kondisi ini berisiko memicu kekeringan, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan, terutama pada puncak musim kemarau. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelolaan sumber daya air yang bijak serta langkah pencegahan kebakaran agar dampak dari kekeringan dapat diminimalisir.
“Perlu meningkatkan optimalisasi fungsi infrastruktur sumber daya air pada wilayah urban atau yang rentan terhadap banjir, seperti penyiapan kapasitas pada sistem drainase, sistem peresapan dan tampungan air, agar secara optimal dapat mencegah terjadinya banjir. Selain itu juga perlu dipastikan kehandalan operasional waduk, embung, kolam retensi, dan penyimpanan air buatan lainnya untuk pengelolaan curah hujan tinggi saat musim hujan dan penggunaannya sumber daya air di saat musim kemarau,” paparnya.
Ardhasena juga menambahkan bahwa potensi dampak dari La Nina yang lemah pada awal 2025 bisa menyebabkan peningkatan curah hujan hingga 20% di atas normal, yang berisiko meningkatkan frekuensi bencana hidrometeorologi. Oleh karena itu, Kementerian/Lembaga serta Pemerintah Daerah terkait diharapkan untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi bencana yang dapat timbul akibat fenomena tersebut.
Ardhasena juga mengingatkan bahwa meskipun curah hujan diprediksi cenderung di atas normal pada periode Juli-September 2025, risiko kekeringan dan kebakaran hutan tetap perlu diwaspadai selama musim kemarau. Pemerintah dan masyarakat diminta untuk tetap waspada terhadap potensi tersebut.
“Kewaspadaan ini tetap diperlukan mengingat data catatan bencana menunjukkan bahwa setiap tahun selalu terdapat kejadian kebakaran hutan dan lahan. Kewaspadaan juga diperlukan untuk antisipasi suhu udara yang mengalami kenaikan pada Mei-Juli 2025,” tutupnya.