Mediaseruni.co.id – Peperangan di Tanjung Kali Mati bukan berlatar belakang agama, melainkan karena kekuasaan dan martabat. Tahta Majapahit yang diinginkan.
Para santri hanya coba mempertahankan martabatnya sebagai warga negara yang patuh pada rajanya, yang keselamatan dan harga dirinya terinjak-injak.
Mahisa Kicak pun, bisa jadi, diapun seorang muslim juga orang-orang bersamanya. Apalagi dia itulah murid istimewa Kanjeng Siti Jenar yang memang adalah penyiar islam, yang namanyapun begitu kesohor di bumi Pajajaran.
Sayangnya, Mahisa Kicak inipun termakan hasutan yang dipertuan di Keling yang menginginkan tahta Majapahit. Padahal tanpa direbut pun tahta itu bakal jatuh juga padanya.
Apalagi pada saat itu bukankah dia yang sudah bernama Wijaya Kesumah? Dan sudah jadi kebiasaan pula, para pemangku tahta Majapahit sebelumnya rumahnya di Kediri dan Keling dan bukankah juga selalu bernama Wijaya?
Kalau ditelusur, tidaklah ada orang jawa bernama Wijaya. Seumpama Patak Warak yang dipertuan di Keling itu, dia itulah Wijaya Kesumah. Akan tetapi, itulah yang terjadi. Inilah politik keras yang sulit untuk dipahami. Demi sebuah ambisi, nilai persaudaraanpun ikut dikorbankan.
Seperti pagi itu, di Tanjung Kali Mati… Dukun Sakti Ki Lontang laksana macan lapar mengumbar adat dengan keji. Entah sudah berapa orang tewas ditangannya. Demikian pun orang-orang berseragam prajurit bersamanya, tak dapatlah dihitung jari yang tewas lantaran dihantam pacul, tajak dan linggis.
Orang-orang dusun yang hendak membuka lahan-lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman bertempur alakadarnya. Mereka bukan prajurit, tidak tahu cara berperang. Asal babat dan asal pukul.
Satu-satunya yang membuat penduduk dusun berani adalah barisan santri yang memagari mereka. Meski belum dapatlah dieejajarkan dengan prajurit-prajurit terlatih lawan mereka, setidaknya mereka sudah mendapatkan sejurus dua jurus cara berkelahi di pondoknya masing-masing.
Beruntung dalam medan pertempuran ada orang-orang berseragam hitam mengaku Laskar Mataram. Meski jumlahnya sedikit, namun anak-anak panah mereka ratusan jumlahnya yang memagari para santri dan penduduk dusun.
Mahisa Kicak yang menyadari banyak anak buah justru tewas diterjang anak panah membuatnya semakin gusar. “Wuaah! Orang-orang berselubung keparat! Sebutkan cepat! Kalian ini orang dari mana!?”
Mahisa Kicak kebutkan tangan. Tetapi… “Wuutt!” Tepat mengenai sasaran. Tetapi anak panah itu langsung patah begitu menyentuh lehernya.
“Ki Sanak, kami tak kenal siapa kau. Tetapi terus terang, engkaulah seorang hebat. Panah-panah kami tak ada artinya buatmu, tapi tidak anak-anak buahmu!”
Dan… “Clepp!” Seorang yang coba membokong Ki Ageng Bitarawa terjungkal hebat dengan dada ditembus anak panah. Kemudian dua orang lagi mau berbuat curang menikam dari belakang punggung Ki Ageng Gebang, memekik dengan leher tertancap anak panah. (bersambung)