Mediaseruni.co.id – Putra Kanjeng Ampel, Raden Syarifudin, memang bukan seorang Senapati. Melihat keberingasan Senapati Sengkolo diapun nekat menghadang. Keris ditangan segera menyambar.
Tetapi dengan mudah dielakan Senapati Sengkolo dan langsung balas menyerang. Pedang pendek Senapati Sengkolo menyambar miring, namun tangan satunya memukul.
Raden Syarifudin yang dalam posisi mandah berhasil mengelakan sambaran pedang, namun ia tersentak kaget karena tak mengira Sengkolo bakal menjotos.
Disaat menangkis jotosan itu, secara tak terduga-duga Senapati Sengkolo lancarkan tendangan cepat. Dan, “Bukk!”
Raden Syarifudin terjajar mundur, bagian perutnya kena ditendang Senapati Sengkolo.
Namun cepat dia ngemposkan tenaga ke perut begitu Sengkolo menggebrak. Dengan kelihaian seekor belut, tubuh putra Kanjeng Ampel meliuk. Kuda-kuda setengah tegak sedikit ditarik lurus. Begitu berputar, keris langsung berkelabat. “Wuutt!”
Nyaris! Senapati Sengkolo memang berhasil mengelak, tetapi tetap merobek ujung jubah sang senapati. “Keparat! Anak Ampel ini ternyata lihai memainkan keris!” Suara Senapati Sengkolo dalam hati.
Raden Syarifudin tegak dengan sorot mata dingin. Masih sempat menyaksikan para pimpinan rombongan bersama para santri utama berusaha melindungi rombongan dari serangan prajurit-prajurit tangguh Mahisa Kicak.
Orang-orang berseragam prajurit tanpa identitas itu begitu mahir memainkan tombak, disamping tidak rendah pula ilmu silatnya. Mereka bukanlah lawan-lawan yang enteng.
Dikejap lain, Santri Utama Gunung Jati, Kiai Mustopa juga menghadapi lawan tangguh. Ki Gentiri bukanlah lawan enteng. Dia itulah pernah menimbah ilmu pada Ki Ageng Ngerang bersama Ki Kapa yang saat itu tengah dikeroyok Ki Angeng Winangon dan Ki Ageng Tunjungan.
Di bagian lain, Demang andalan Mahisa Kicak, Demang Rogojampi agaknya mendapat lawan seimbang. Abah Unjana, biar cuma kepala dusun tetapi ilmu silatnya tak bisa dibuat main-main.
Serbuan-serbuan ganas yang dilancarkan Demang Rogojampi dapat dielakkan. Malah beberapa kali golok pendek Abah Unjana nyaris mengenai bagian tubuh Demang Rogojampi.
Sedang Raden Makdum yang mencoba menghalangi Dukun Sakti Ki Lontang harus beberapa kali menahan diri. Dibandingkan dirinya, kepandaian Ki Lontang tentu jauh diatasnya.
Tiga tombak disamping Raden Makdum, Raden Paku yang mengkhawatirkan Raden Makdum berhasil mendekat. “Raden, manusia ini bukan tandingan kita. Dikeroyok pun belum tentu menang…” Namun… “Awas Raden!”
Raden Makdum melompat mundur. Raden Paku memotong. Keris ditangan menyambar ganas. Tetapi manusia di depan adalah Ki Lontang. Kepandaiannya dapatlah disejajarkan dengan Mahisa Kicak.
Menerima sambaran keris putra Nyai Ageng Pinatih mudah saja dia mengelak. Malah nyaris saja keris ditangannya menyambar punggung Raden Paku kalau saja keris Raden Makdum tak segera menangkis.
“Huaah! Anak-anak Pasai! Padahal sudah cukup waktu kalian pulang ke negerimu. Tapi kalian menolak! Malah meminta pula Jatiwangi. Benar-benar kurang ajar!”
Ki Lontang sapukan tangan ke depan. Raden Paku mengelak. “Lantas apa sebutannya untukmu. Kalian yang mengaku pengayom Majapahit, tapi memerangi rakyat sendiri. Rakyat yang tulus mengabdi pada Rajanya. Pantaskah disebut orang Majapahit, jika ternyata pun kalian akan makar?!”
Raden Paku mendengki. Tangan yang menyapu ke depan kena dielakkan. Raden Makdum mengimbangi dengan kelebatan keris. Tapi mudah saja ditangkis. (bersambung)