Mediaseruni.co.id – Rombongan Santri Gunung Jati secara tak terduga bertemu rombongan pendudukan dusun pesisir Parangtritis yang dikejar-kejar gerombolan rampok yang bermarkas di utara Hutan Parangtritis bernama Ki Luwu.
Ki Luwu ini dahulu merupakan Senapati Majapahit semasa Pandas Salas memerintah yang lari ke hutan setelah Pandan Salas kalah perang dengan Bhre Wirabumi dari Blambangan.
Dialah yang bergelar Macan Luwu. Setelah kabur ke hutan pun masih diburu pasukan Bhre Wirabumi. Untuk bertahan hidup akhirnya dia jadi perampok.
Ki Luwu ini juga dahulu (baca; Darah Darah Jingga) yang membakar Dusun Yoga dan membunuh Wayan Suwasti dan Narisiwi, suami istri orang tua angkat bocah bernama Bagus.
Bocah itulah yang kemudian diselamatkan Sang Wilwatikta Tuban Arya Teja, dan diangkat anak yang kemudian diberinama Syahid. Arya Teja ini suka menyebut anak macan terhadap bocah temuannya, karena wataknya yang keras dan garang laksana macan.
Akan halnya Wayan Suwasti, sebetulnya juga Senopati pilih tanding Majapahit yang tak sudi tunduk terhadap Bhre Wirabumi. Dia lebih suka lari ke hutan bersama istrinya Narisiwi dan hidup sebagai nelayan, sebelum tewas dikeroyok Ki Luwu dan gerombolannya.
Kembali kepada rombongan penduduk dusun pesisir yang dikejar-kejar Ki Luwu, saat itu pimpinan rombongan bernama Ki Ladung merasa sudah terjepit. Diapun berpikir tak ada pilihan kecuali melawan, meski dia sadar dirinya mungkin tewas di tangan gerombolan rampok didepannya.
Namun, dalam detik-detik kritis itu mendadak terdengar suara orang bertakbir ramai sekali. Ki Ladung yang merupakan Kepala Dusun Yoga dimana dahulu Raden Mas Syahid pernah menghabiskan masa kecilnya, sekejap itu terlihat tergugu.
Belum hilang rasa keterguguannya ketika suara takbir itu serasa kian mendekat, kemudian dekat lagi dan.., menggempitalah sekitar pinggiran hutan itu ketika mendadak terdengar teriakan “Allahhu Akbar…”
Disusul lesatan beberapa orang dari balik belukar. Ki Ladung menyaksikan itu spontan menyahut. “Allahhu Akbar…” Disusul pekik menggempita penduduk Dusun Yoga meneriakan takbir yang sama.
“Asaalamualaikum, wahai saudaraku…”
“Waalaikumus salam, wahai saudaraku…”
Orang barusan muncul ternyata Abah Unjana, dan dibelakangnya lima orang santri utama Gunung Jati tampak siaga setelah tahu keberadaan Ki Luwu dan gerombolannya.
Setelah saling memperkenalkan diri, Abah Unjana berucap. “Alhamdulillah, kita satu tujuan, Ki. Kami orang-orang dusun sekitar Gunung Jati di Cirebon dan Pajajaran. Kami bersama santri-santri Gunung Jati. Dan, bersama kami juga saudara-saudara dari dusun sekitar pesisir tengahan. Mereka dibelakang.”
Disamping Abah Unjana, Santri Utama Gunung Jati bernama Kiai Somad edarkan pandang. “Orang-orang kasar ini, apakah benggolan, Ki?”
Ki Ladung mengangguk. “Benggolan Macan Luwu, kiai.”
Ki Luwu bekas Senapati tangguh Majapahit sekejap itu tampak jadi bimbang. Bukan karena kehadiran santri-santri utama Gunung Jati, melainkan suara takbir yang berkumandang seakan dari segala penjuru mata angin.
Keragu-raguan Macan Luwu semakin menjadi ketika dalam beberapa kejap kemudian bermunculan belasan santri Gunung Jati bersama orang-orang yang membawa pacul, tajak, linggis dan aneka peralatan berkebun, bertani dan bertukang.
Pada barisan paling depan tampak Santri Utama Gunung Jati Kiai Mustopa dan Kiai Imron yang langsung mendampingi Abah Unjana bersama Kadus Slawi Ki Longkop dan Ki Sambit, pimpinan rombongan penduduk dusun sekitar perkampungan nelayan pesisir tengahan jawa.
Ki Landung menyaksikan rombongan besar di depan langsung bertakbir, dan membawa rombongannya bergabung dalam rombongan Santri Gunung Jati.
Pimpinan rombongan Gunung Jati Kiai Mistopa mendekat kearah Kiai Somad, dan bertanya orang-orang bertampang kasar di depan. “Mereka benggolan hutan ini, kang,” jawab Kiai Somad.
Kiai Mustopa maju selangkah. “Tuan-tuan, kami bersama orang-orang dusun sekitar sini. Kami dalam perjalanaan ke Jatiwangi. Terus terang tak ada harta benda yang kami bawa, kecuali bekal makanan alakadarnya dan peralatan bertani, berkebun dan bertukang. Jadi, biarkanlah kami lewat.”
Macan Luwu yang sudah ciut nyalinya cuma perdengarkan suara menggerendeng. “Sial!”
Kiai Mustopa nampak tenang. Puluhan petani, pekebun dan petukang muda bergerak maju sambil acungkan cangkul, tajak dan linggis.
Menyaksikan itu gentar juga mantan Senapati Majapahit ini. “Jahanam! Keparat sial! Awas kalian!” Selesai itu… “Heaaah!”
Santri-santri Gunung Jati cuma pandangi belasan orang bertampang kasar menggebrak kudanya dan hilang dibalik rerimbunan belukar. (bersambung)