Mediaseruni.co.id – MAHISA Kicak memuji Kapa dan Gentiri. Berkat keduanya murid berbakat Siti Jenar itu berhasil menggiring rombongan santri Ampeldenta dan Gresik ke Kali Mati.
“Heaa!”
“Gentiri dan kau Kapa! Bagus kerja kalian. Pantaslah Tuan Patih memakai tenaga kalian!” Mahisa Kicak tertawa keras.
“Orang-orang Ampeldenta dan Gresik itu memang kesasar ke Selatan!” Lagi suara keras Mahisa Kicak terdengar. “Dan aku, ha, ha, haa, akan jadi Panglima Kediri!”
Sebelum menggebrak kudanya murid berbakat Kanjeng Siti Jenar ini perintahkan telik sandi agar Senopati Sengkolo dan Senapati Kalabenggol menggiring rombongan santri dari arah barat dan timur.
Mahisa Kicak tahu bagian timur dan barat wilayah itu terbelah yang dijepit dua sungai. Agaknya, Mahisa Kicak akan menggiring rombongan santri Ampeldenta dan Gresik ke daerah itu.
Saat itu putra Ki Ageng Ampel Raden Maulana Makdum Ibrahim tiba-tiba keluarkan suara istigfar keras. “Astagafirullahhal adziim….”
Raden Paku berada disamping sontak terkejut. Raden Syarifudin kerenyitkan dahi. “Ada apa Raden…”
“Entahlah, aku merasakan… Allahhu Akbar…”
“Raden, apa yang kau lihat!?”
“Aku mencium amis darah, perutku jadi mual.”
Raden Paku sadar, didepannya tidak ada apa, dan tidak ada bau amis darah. Menyadari itu, putra Nyai Ageng Pinatih inipun langsung beristigfar hampir berbarengan Raden Syarifudin.
Masih dengan wajah keheranan Raden Makdum lanjut bicara. “Aneh, ini kejadian tidak biasa. Barusan aku mencium amis darah, santer dan menyengat sampai perutku mual. Tapi sekarang sudah hilang. Hmm, sungguh aneh.”
Raden Paku diam saja dan menghela napas panjang. Sebetulnya, sejak tadi pun putra angkat Nyai Ageng Pinatih sudah merasakan hal-hal yang tidak mengenakan.
Perasaannya mendadak dicekam rasa ketakutan. Semacam kengerian yang hebat, dan rasa itu semakin menjadi begitu rombongan menyusuri Kali Opak.
Mestinya rombongan akan berputar dan mengambil arah balik ke utara. Dengan begitu kembali ke arah semula lewat Hutan Bantul. Akan sesuatu begitu hebat memaksa mereka bergerak lurus ke arah laut. “Raden, aku merasakan ada hawa jahat, dari arah laut.”
Raden Makdum perdengarkan istigfar. “Aku pun merasakan begitu, raden, hawa jahat itu datang dari arah laut.”
Disamping kedua satria jingga itu, Raden Syarifudin terlihat lebih tenang. “Sebaiknya kita waspada, kakang,” ucap Raden Syarifudin, yang diikuti anggukan kepala keduanya. (bersambung)