Mediaseruni.co.id – BELASAN orang-orang berseragam hitam mendadak bermunculan, menyelamatkan Raden Patah, dan langsung menghujani gerombolan rampok Gunung Wilis dengan anak panah.
Pada saat itu putra Brawijaya V dari Selir Dewi Kian dan Senapati Kimbang Serana benar-benar dalam bahaya. Gerombolan Rampok Gunung Wilis bayaran Mahisa Kicak agaknya akan menghabisi putra keduanya.
“Setan! Keparat! Pemanah sial! Siapa kakian!” Ki Sarpa tak menyangka akan munculnya orang-orang berseragam cuma memaki sambil menyelamatkan diri memutar-mutar parangnya.
Demikianpun Ki Darpa melompat kalang kabut bersama belasan anak buahnya berusaha menyelamatkan diri. Ki Sarpa kembali memaki. “Setan! Siapa kalian!”
Tak ada jawaban selain gerakan-gerakan melompat belasan orang berseragam hitam saling bertukar posisi sambil melepaskan anak panah. “Wuutt!” dan “Traakk!”
Betapapun hebat Ki Sarpa kalau terus-terusan dihujani anak panah kewalahan juga dia. Terlebih setelah terdengar pekik tertahan Ki Darpa.
“Keparat-keparat ini nampaknya terlatih. Panah mereka tak satupun meleset!” Ki Darpa masih meletik di udara ketika terdengar seruannya keras. “Ki Sarpa! Silahkan kalau masih betah. Aku duluan…”
Usai berucap Ki Darpa langsung berkelebat dan kabur. Ki Sarpa menyaksikan kelebatan Ki Darpa sempat melirik anak buah yang sudah bergelimpangan dengan jidat dan leher tertancap anak panah.
“Sial! Orang-orang berselubung keparat! Urusan kita belum selesai!” Selesai berucap, tak ubahnya Ki Darpa, rampok sakti Gunung Wilis itupun berkelebat menyusul Ki Darpa meninggalkan belasan anak buahnya yang sudah tak bernyawa.
Sesaat dua pentolan rampok Gunung Wilis itu lenyap, panah pun berhenti. Lima orang berselubung hitam menjurah hormat. Dibelakangnya enam orang seperti dirinya tetap ambil posisi siaga. “Assalamualaikum Raden. Maaf, kami datang terlambat.”
Raden Patah dan Kimbang Serana masih terbengong. “Oh, tuan-tuan penolong berselubung hitam sekalian, siapa tuan-tuan? Mengapa menolong saya, dan agaknya tuan-tuan mengenal pada saya.”
Raden Patah balas menjurah hormat. Orang berselubung hitam paling depan menyahut. “Maaf Raden, kami mengenal raden, tapi kami tak memperlihatkan siapa kami. Perintah kami adalah mengawal Raden. Sekali lagi maafkan kami. Kelak Raden akan tahu siapa kami.”
Pemanah berselubung hitam agaknya pimpinan para pemanah menjurah dalam-dalam. Raden Patah semakin bingung, disampingnya Senapati Kimbang Serana kerenyitkan dahi.
“Tuan-tuan mengenaliku tapi tak sudi perkenalkan diri. Tuan-tuan dapat perintah mengawalku tapi tak mau memberi tahu siapa yang memerintah. Lalu apakah ucapan yang pantas aku katakan kepada tuan-tuan…”
“Akuilah kami Raden, kelak sebagai Laskar Mataram…” Mendengar itu 10 orang berseragam hitam dibelakangnya serentak jatuhkan diri berlutut. “Akui kami Raden sebagai Laskar Mataram…” Suara sebelas orang bersragam hitam serentak.
“Apa… Laskar Mataram…” Raden Patah semakin bingung, dan memandang lekat orang-orang berselubung hitam di depannya. “Kalian minta pengakuan sebagai Laskar Mataram… Oh, apa maksud tuan-tuan….Saya…”
Terputus. Belasan orang berseragam hitam tetap dengan posisinya menyembah takjim. Raden Patah kian kebingungan. “Eh, kalian.., tuan-tuan apakah prajurit kerajaan? Dan, tuan-tuan menyebut Laskar Mataram…”
Raden masih kebingungan. “Hmm, mataram… Eh, ya mataram… Bukankah cikal bakal Kediri dan Majapahit… Dan bukankah… Ah, dulu memang ada tapi sudah lenyap. Dan, tuan-tuan mengaku Laskar Mataram… Tuan-tuan membingungkan saya…”
Tetap, sebelas orang berseragam hitam tak bergeming. Senapati Kimbang Serana sejak tadi mencermati mulai membaca gelagat, lantas memberi isarat pada Raden Patah dengan menganggukkan kepala.
Raden Patah pun meski dalam kebingungan akhirnya menurut juga. Maka putra Brawijaya V itupun lantang berucap. “Baiklah. Aku Raden Abdul Patah, Putra Brawijaya V dari Dewi Kian, mengakui keberadaan kalian kelak sebagai Laskar Mataram…”
Sebelas orang berselubung hitam langsung berdiri. “Terima kasih Raden. Kelak, kami akan mengingat janji Raden.”
Hebat sekali. Selesai orang itu berucap langsung berkelebat, disusul 10 orang dibelakangnya. “Berhati-hatilah Raden, kami mengawal Raden dari sisi kanan….”
Suwung…. (bersambung)