Mediaseruni.co.id – RADEN Jakfar Sodiq tak dapat menyembunyikan keterkejutannya kalau dihadapannya itu adalah Senapati Kediri Kalabenggol.
Dia memimpin sepasukan kecil berkuda yang kelihatannya sangat terburu-buru. Beruntunglah ketika itu Putra Ki Ageng Ngudung sudah menyembunyikan rombongan masuk ke dalam hutan.
“Heaa!”
“Heaaah!”
“Kuda goblok! Percepat larimu!” Dua kaki Kalabenggol menjepit perut kuda, hingga kuda yang ditunggangipun berlari kesetanan.
Dibelakangnya sekitar 25 prajurit mengikuti juga tak kalah cepat. Jakfar Sodiq cuma mengereyitkan dahi memandang kearah mana lenyapnya Kalabenggol.
“Hmm, benarlah Wiratama Lasem itu. Belakangan ini banyak orang-orang berkuda berseragam prajurit melintas di wilayah perbatasan. Yang mereka tunggangi memang kuda-kuda Keling, aku mengenali kuda-kuda itu. Tapi, yang didepan tadi… Tidak salahlah penglihatanku, dia memang Kalabenggol, Senapati Majapahit yang bertugas di Kediri.”
Berpikir begitu Putra Ki Ageng Ngudung lantas perintahkan rombongan bergerak. Perasaannya jadi was-was. Dia menaruh wasangka tak baik terhadap Senapati Kalabenggol.
Kalau cuma sekedar melintas, untuk apa? Dari Jipang? Kelihatannya tidak, arah datangnya barat sedang Jipang di utara. Pajang? Juga tidak, letak Pajang di Selatan.
Hmm, barangkali saja dari Juwana. Bukankah orang-orang Keling sering ke Juwana. Tapi apa iya kalau mereka sendiri tahu bahwa Ki Ageng Juwana saat ini berada di Jatiwangi.
Raden Jakfar Sodiq menghela napas panjang dan berbisik kepada Santri Utama Jipangpanolan Sutisnah. “Kakang, sebaiknya percepat langkah kita. Aku mengenali penunggang kuda tadi, dialah Senapati Majapahit Kalabenggol…”
Saat itu, Kalabenggol yang sudah berada jauh di depan rombongan Jakfar Sodiq berteriak keras. “Didepan sana Bojonegoro! Aku yakin rombongan itu akan memotong Kali Pacol! Heaaa!”
“Senapati, tujuan kita ke Timur!”
“Aku tahu! Itulah sebabnya kita akan berbelok ke Selatan!”
“Mengapa begitu? Rombongan itu mengarah ke barat, sedang kita ke selatan. Keliru Senapati!”
“Huah! Tidakkah engkau dengar! Tuan Mahisa Kicak sendiri perintahkan begitu. Kalau sampai batas Khendeng Utara belum juga bertemu rombongan itu, kita diperintahkan terus ke selatan!”
“Berarti mengarah ke Gunung Pandan!”
“Kemana lagi! Apakah ada gunung lain disana…!”
Orang yang dibentak kesal, namun menurut juga dia ke arah selatan. Tapi saking kesalnya kuda yang jadi sasaran.
“Heaah….!” (bersambung)