Mediaseruni.co.id – TERUS terang, Kepala Dusun Losari Ki Anom masih berpenasaran dengan tokoh bernama Kalijaga. Kepala Dusun (Kadus) Rogojembangan Ki Warta bahkan sempat menyebut Bahasa Kalijaga.
Tidak hanya menyebut Bahasa Kalijaga, Kepala Dusun Rogojembangan itupun mengatakan Kalijaga itulah pimpinan orang-orang berselubung hitam yang berjuluk Rampok Budiman.
Siapa sesungguhnya Kalijaga ini, dan mengapa pula mereka menyebutnya Rampok Budiman… Rasa penasaran Kadus Losari ini semakin besar ketika Kadus Rogojembangan itu menyebut Kalijaga itulah benggolan tulen perampok prajurit-prajurit pemungut pajak.
Hal membuat Kadus Losari ini bingung adalah bahwa nyatanya hasil rampokannya itupun kemudian dikembalikan lagi pada orang-orang miskin yang terpaksa membayar pajak bumi.
Ki Anom sendiri sebetulnya dialah pedagang besar di Dusun Losari. Sebagai pedagang tentu saja relasinya pun luas hingga keluar Cirebon. Tentu saja diapun menyirab banyak kabar bahwa dewasa itu di wilayah tengahan bumi Jawa memang banyak benggolnya.
Akan tetapi, mendengar nama Rampok Budiman… Inilah baru pertama dia dengar. Malah dihubung-hubungkan pula dengan manusia berjuluk Kalijaga.
“Hmm, siapa sebenarnya Kalijaga ini. Mengapa dia merampok petugas – petugas penarik pajak kemudian membagi-bagikan hasil rampokannya ke orang-orang miskin.”
Ki Anom, Kadus Losari itu menghela napas panjang. Kendati demimian dalam hatinya sangat bersyukur masih ada orang-orang yang peduli pada orang miskin.
Akan tetapi, benak Ki Anom kembali berputar. Sebesar apapun kebaikannya tetaplah Kalijaga itu seorang benggolan. Perbuatannya merampok tidak dibenarkan hukum. Apalagi merampok uang negara.
Tetapi…, rampok yang ini berbudi… Hmm, perampok tapi berbudi atau sebaliknya berbudi tapi merampok. Dua kata berbeda tapi bermakna sama. Merampok dulu baru menolong dan menolong dulu baru merampok.
Tentu akan berbeda makna jika diartikan ditolong dulu baru dirampok dan dirampok dulu baru ditolong. Sudah tentu berbeda dengan Kalijaga. Karena Kalijaga inilah Rampok Budiman. Rampok yang tujuannya cuma satu. Menolong orang-orang miskin yang dirampok.
Maka, senyum Kadus Losari ini sontak mengembang lebar. “Kalijaga… Hm, Kalijaga…”
“Apa Ki…” Mendadak terdengar suara Ki Warta membuyarkan isi benak Ki Anom yang sedari tadi berpikir soal Keberadaan manusia bernama Kalijaga.
“Eh, tidak ada apa-apa Ki, hanya teringat nama orang-orang berselubung hitam tadi. Hanya teringat saja, kita fokus pada rombongan saja Ki, semoga cepat sampai pinggir hutan.”
Ki Anom masih kembangkan senyum. Barusan ia seperti mengalami ritual sebuah perjalanan. Pikiran berjalan begitu saja tanpa rencana dan skenario. Perjalanan pikiran yang membuatnya mulai mamahami hakikat dari Penjaga dan Pemelihara.
Bahwa dizaman seperti sekarang, dimana keseluruhannya serba tak menentu dan burem, maka kehadiran manusia seperti Kalijaga bersama orang-orang berselubung hitamnya memang dibutuhkan.
Baru saja berpikir begitu seketika terdengar bentakan keras. “Berhenti! Mau kemana kalian!”
Kadus Losari dan Kadus Rogojembangan sontak hentikan rombongan. Dari balik belukar keluar seorang bertubuh besar bertampang kasar, disusul belasan orang juga bertampang kasar berlompatan dari atas pohon.
Ki Anom mengerenyit. Disebelahnya Ki Warta siaga. “Jangan-jangan benggolan, Ki.”
Ki Anom tabahkan hati. Setelah meminta Ki Warta amankan rombongan, dia pun melangkah maju. “Ki Sanak sekalian, siapa kalian, mengapa menghalangi perjalanan kami.”
Manusia yang membentak mendengus. “Kau bertanya siapa kami? Huh,Terbalik! Akulah yang bertanya siapa kalian. Sebab rawa ini masih wilayah Penging!”
Memang, rombongan petani Cirebon dan Rogojembangan saat itu telah memasuki Wilayah Penging, memutari Gunung Sumbing. Jalur itu merupakan jalan terdekat menuju Hutan Jatiwangi. Tetapi siapa sangka malah kesasar ke arah Rawa Penging yang terkenal banyak benggolannya.
“Oh, jadi ki sanak sekalian adalah orang Penging. Kalau begitu maafkan kami yang kesasar dan melintas di wilayah ki sanak.”
Ki Anom rangkapkan dua tangan dan menjurah hormat. Didepannya lelaki bertampang sangar malah mendengki. “Hmm, bagus kalau sudah paham. Nah, pentang kuping kalian lebar-lebar. Penging tak mengizinkan orang-orang seperti kalian melintasi wilayahnya. Paham!”
Dialah Ki Loyang. Manusia ini orang kepercayaan Ki Ageng Penging yang jadi penguasa disana. Ki Anom tabahkan hati. “Ki sanak, kami hanya sebentar lewat. Kami hanya petani-petani miskin yang coba cari penghidupan baru yang lebih baik.”
“Setan! Pandai kau bicara! Apa kau kira aku tidak tahu kalau kalian akan ke Jatiwangi…!”
Baik Ki Anom maupun Ki Warta terlihat terkejut. Bagaimana manusia di depan tahu bahwa mereka akan ke Hutan Jatiwangi… Namun baik Ki Anom maupun Ki Warta berusaha menyembunyikannya.
“Ki Sanak, kami hanya petani yang akan membuka lahan pertanian.”
“Fuaah! Jangan kira aku tak tahu kalian ke Jatiwangi akan membuat kerajaan baru!”
Bukan main terkejutnya Ki Anom dan Ki Warta… Kerajaan… aah, fitnah apa itu. Mereka ke Jatiwangi hendak membuka hutan, dan kerajaannya tetap Majapahit…
Akan tetapi terputus. Dari samping Ki Lontang terdengar seruan keras. “Sudah, Ki. Percuma banyak bicara. Biar aku yang menghabisi manusia-manusia ini!”
Dialah tangan kanan Ki Lontang dan orang disebelahnya adalah Ki Jargo. Seraya geser gagang golok Ki Jargo langsung menerjang.
Barusan tadi Ki Anom sebetulnya merasa heran tentang keberadaan Penging, dan barangkali sudah menjadi dusun. Hanya saja, baik Ki Anom maupun Ki Warta sama sekali tidak melihat tanda yang jadi batas wilayah. Dusun kecil terpencil sekalipun punya batas wilayah, tetapi Penging tidak.
Memdapat serbuan tiba-tiba, Ki Anom tak mau berlaku ayal, segera loloskan keris. Dibelakangnya Ki Warta segera perintahkan anak-anaknya Karto dan Mijan lindungi rombongan.
Sementara santri-santri Gunung Jati sebagian bergabung bersama Karto dan Mijan sebagian lagi membantu Ki Anom dan Ki Warta. “Mampus!” dan “Trang!”
Ki Warta menangkis dengan goloknya, lalu balas menyerang dengan membabat. Yang dihadapi Ki Warta tiga orang dan tiga-tiganya bukanlah lawan enteng.
Menghadapi satu orang saja belum tentu menang ini tiga sekaligus. Sehingga sudah dapat ditebak, sebentar saja diapun sudah terdesak.
Hingga suatu ketika terdengar pekik tertahan kadus Rogojembangan. Dia terjajar mundur sambil pegangi bagian lengan yang terluka kena sabetan golok.
Karto panik menyaksikan ayahnya terluka. Mijan sekejap tadi mendengar ayahnya memekik berniat hendak menolong. Tapi yang jadi lawan mereka orang yang menimbah ilmu pada Kanjeng Siti Jenar. Tentu saja kepandaianya jauh diatas keduanya.
Sehingga begitu kedua berniat buat gerakan akan menolong Ki Warta, cuma dengan sekali sapuan mereka pun dibuat terjajar kebelakang. Tetapi sial Mijan, karena pada saat bersamaan dari arah samping menyambar golok.
“Crass!”
Mijan mengalami hal sama dengan ayahnya. Bagian lengannya kena dirobek golok orang disampingnya.
Menyaksikan kondisi ayah dan anak itu Ki Anom timbul was-wasnya. Namun Ki Anom pun mendapat lawan yang hebat. Dia Ki Wargon. Ilmu kepandaiannya pun tidak dibawah Ki Anom.
Ki Jargo yang tak sabar menyaksikan pertempuran melompat ke depan. Putra Ki Warta pemudah bernama Karto terang bukan lawannya. Sehingga sekali membentak putra Ki Warta ini terpental dan menghantam batang pohon dibelakang. Darah segar menyebur dari mulut pemuda Karto.
Tetapi orang-orang dusun yang dilindungi mendadak membantu. Mereka petani petani yang tak pandai silat. Namun mereka punya cangkul dan tajak. Dengan alat-alat pertanian itu mereka mengeroyok Ki Jargo.
Ki Jargo yang tak mau berlama-lama berteriak keras. “Habisi! Jangan sisakan seorangpun!”
Cuma sekejap, karena pada kejap lain entah dari mana mendadak berlesatan anak-anak panah menghujani orang-orang yang mengaku orang Penging, termasuk Ki Loyang yang sejak tadi menonton.
“Setan! Siapa mencari mati berani main-main sama orang Penging!” Jawabannya, lima batang anak panah melesat lurus di tiga tempat. Mulut, leher dan jidat.
Tapi dengan mudah kena dipukul rontok Ki Loyang. Malah satu berhasil ditangkap dan langsung dipatahkan dengan geramnya. Dia sendiri melesat keatas pohon hendak mengintai para pemanahnya.
Tapi mendadak diurungkan. Belasan anak panah berlesatan dari atas menghujani bagian kepalanya. Hebat! Belasan anak panah itu khusus mengincar bagian batok kepala. Kalau bukan pemanah jempolan tidaklah sanggup melakukan itu.
Seraya bersalto, Ki Lontang putar golok lindungi bagian kepala. Dua anak buah Ki Lontang coba menyerbu masuk ke belukar terjengkang ke belakang dengan masing-masing jidat tertancap anak panah.
Tak jauh dari dua orang sial itu, Ki Jargo menggerung hebat. “Keparat!” Tubuhnya melesat ke arah semak belukar.
Tapi hujan anak panah malah berganti datang dari sisi kanan. Ki Jargo kelimpungan. Ki Wargo yang masih kitir-kitirkan golok tak punya pilihan dan coba berlindung dibalik pohon besar.
Tapi sial. Ternyata dari arah belakang pun berseliweran belasan anak panah. Keruan Ki Wargon keblingsatan. “Setan! Jahanam! Mereka ada dimana-mana. Keparat!”
“Siuut!”
“Siut!”
Lalu “Clep!”
Ki Wargon terkesiap. Tiga anak panah nyaris menembus leher dan jidat. Ki Loyang yang berjarak cuma satu tombak sampai dingin tengkuknya. Dua batang anak panah cuma lewat setengah inci diatas kepala.
Merasa nyawanya terancam, tanpa banyak bicara dia melesat tinggi. Dikejap bersamaan dia berteriak keras. “Selamatkan diri kalian. Tinggalkan tempat ini!”
Usai teriakannya, Ki Loyang melesat pergi disusul Ki Jargo dan Ki Wargon dan belasan anak buahnya. (bersambung)