Mediaseruni.co.id – Prajurit Utama Pajajaran Wiratama Rawa Rawu terbelalak matanya begitu menyaksikan pemandangan didepan. Saat itu, Santri Utama Gunung Jati Kiai Mustofa memekik kecil setelah bagian lengannya disambar golok musuhnya.
Dihadapannya Abah Unjana bertahan mati-matian sekalipun tiga garis tebal mengangah di tiga tempat bagian tubuhnya. Santri Utama Gunung Jati yang lain, Kiai Imron bersama tujuh santri lainnya yang membantu pun belum cukup mengimbangi kekuatan Benggolan Hutan Diyeng.
Dahulu kekalahan Prabu Pandas Salas Brawijaya V terhadap Bhre Kertabumi mengakibatkan sebagian pasukannya melarikan diri ke hutan dan menjadi perampok atau benggolan. Termasuk pasukan Diyeng Jalu.
Tidak heran kalau kemudian santri-santri Gunung Jati yang mengawal rombongan petani ke Hutan Jati Wangi inipun, mengalami kesulitan menghadapi mereka yang notabene bekas prajurit-prajurit terlatih.
Ditambah lagi ada Diyeng Jalu yang sesungguhnya dialah pada masanya salah seorang Wiratama pilih tanding Majapahit. Diyeng Jalu masih dibantu dua anak buahnya yang tak rendah pula ilmunya.
Merekalah Donggo dan Bonggol, dua benggol kejam berilmu tinggi yang menguasai sekitar Hutan Dieng sebelum ditaklukan Diyeng Jalu dan anak buahnya.
Kehadiran empat orang berselubung hitam yang tak lain Wiratama Rawa Rawu bersama tiga prajurit pilihan melegakan hati Santri Utama Gunung Jati. Terlebih setelah tahu orang-orang berselubung hitam itu juga yang membantu rombongan petani di belakang.
Wiratama Rawa Rawu perwira Pajajaran berkepandaian tak tinggi, setingkat dibawah Senapati Kuda Rumpin dan Senapati andal Pajajaran Kuda Saksana. Berhadap-hadapan dengan Diyeng Jalu meski bukan lawan enteng masih dapat dia mengatasi.
Diyeng Jalu pun tak menyangka bakal berhadap-hadapan dengan Wiratama Pajajaran gentar juga hatinya. Golok bengkok yang jadi kebanggaannya seperti tumpul dihadapan Rawa Rawu.
“Benggol busuk! Cuma melompat bisamu Heh!” Rawa Rawu lepaskan pukulan jarak pendek.
“Setan…!” Diyeng Jalu memaki. Tapi terhenti. Sekejap itu dia gelagaab ketika bersamaan dia memaki tangannya yang memegang pedang kena ditangkap. Diyeng Jalu berusaha menarik tangannya, dan berhasil.
Tetapi pada detik bersamaan pedang dipinggang Rawa Rawu sejak tadi tergantung lolos, dan langsung berkelabat cepat menyambar. Dan.., “Crass!”
Diyeng Jalu spontan menjerit. Bagian punggungnya kena disabet pedang pendek Rawa Rawu. “Keparat!”
Wiratama Rawa Rawu hanya perdengarkan suara mendengki, sambil lintangkan pedang didepan dada. Pada saat berbarengan, tiga orang bersereragam hitam kelebatkan pedang disusul pekik tertahan Donggo dan Bonggol.
Pembantu-pembantu Diyeng Jalu mengalami nasib sama, terkena sabeten pedang prajurit-prajurit pilihan Pajajaran. Tetapi sial nasib Donggo. Karena begitu dia terjajar mudur ternyata serangan prajurit pilihan Pajajaran tak berhenti disitu. Melainkan dilanjutkan menusuk. Dan… kandaslah nyawa pembantu utama Diyeng Jalu ini.
Diyeng Jalu sendiri pada saat itu terluka parah semakin ciut nyalinya. Apalagi menyadari Donggo pun tewas ditangan orang berselubung hitam. Maka, tanpa ba-bi-bu lagi, lantas melompat ke punggung kuda dan langsung kabur, disusul anak-anak buahnya.
Tiga orang berselubung hitam semula akan mengejar ditahan Wiratama Rawa Rawu. Santri-santri utama Gunung Jati pun cuma memandangi puluhan orang benggol yang melarikan kuda-kudanya dengan sangat cepat.
Wiratama Rawa Rawu menghela napas dan melangkah kearah santri-santri utama Gunung Jati. “Assalamualaikum kiai…”
“Waalaikum salam..” Santri Utama Gunung Jati Kiai Mustofa haturkan terima kasih. “Alhamdulillah. Ki sanak menyampaikan salam begitu fasih. Apakah ki sanak sekalian satria-satria yang diutus Kanjeng Gresik.”
Mendengar nama Kanjeng Gresik, sebetulnya Wiratama Rawa Rawu kaget hatinya. Apalagi disebut sebagai utusan. Kalau boleh jujur, manalah berani dia mewakili mengatasnamakan Kanjeng Gresik. Janganlah dirinya yang prajurit biasa, bahkan Sang Prabu Sribaduga sendiri begitu dalam hormatnya pada ulama besar itu.
Tetapi dia mesti menjaga wibawa Pajajaran. Apalagi mereka inilah yang mendapat perintah langsung Sribaduga untuk menyamar. Sehingga tak mungkinlah lantas mengaku mereka inilah utusan Sribaduga yang diperintah mengawal rombongan Gunung Jati secara diam-diam.
Menimbang kesitu, Wiratama Rawa Rawu pun tersenyum. Ada rasa bangga detik itu mengalir dalam dirinya. Dalam hatinya, tak apalah berbohong demi untuk kebaikan. Maka sambil melebarkan senyum diapun mengangguk pelan.
“Sudah saya duga,” suara Kiai Mustofa. “Kanjeng Gresik memang seorang berpandangan jauh kedepan. “Alhamdulillah. Kalau begitu, sekali lagi terima kasih Ki Sanak sekalian.”
Rawa Rawu sekali lagi mengangguk, namun dia tak bisa berlama-lama, maka selesai anggukan kepalanya diapun lantas bertanya perihal rombongan yang akan menuju Hutan Jati Wangi.
“Oh, jadi ke arah Utara…” Rawa Rawu setengah bergumam. “Sangat berbahaya, arah itu terkenal sarangnya benggolan.”
Santri Gunung Jati pun menghela napas. “Maka itulah Ki Sanak, kami pun bermaksud menyusul. Kami mengkhawatirkan keselamatan Ki Anom dan rombongannya.”
Wiratama Rawa Rawu diam namun benaknya berpikir keras. “Hmm, mengarah ke Utara… Rombongan di belakang berputar menempuh arah Selatan. Berarti tetap akan berputar ke Utara juga…” Rawa Rawu menarik napas panjang. “Kiai, Jati Wangi apakah di Utara?”
Santri Utama Gunung Jati merasa heran. “Benar kiai, kami pun hendak kesana.”
“Baiklah, kami akan mengiring dari sisi Barat.”
Santri utama Gunung Jati semakin lebar senyumnya, sambil menyaksikan kelebatan Wiratama Rawa Rawu bersama anak buahnya…. (bersambung)