Mediaseruni.co.id – Kabar mengenai Kanjeng Ampel sudah bermukim di hutan angker Jatiwangi membuat Adipati Pajang Handayaningrat gunda gulana, terlebih setelah tahu Kanjeng Gresik, Ki Ageng Ngudung dan Ki Ageng Ngerang pun berada pula disana.
Untuk itu, Putra Prabu Brawijaya dari garis Permaisuri ini lantas memanggil Patih Sena Kumbayan menghadap. “Tak berdaya, sungguh saya tak berdaya. Yooii, Pamanda Patih, apa pendapatmu…” Pangeran Hamdayaningrat mondar-mandir di hadapan Patih Sena Kumbayan.
Saat itu pikiran Handayaningrat sedang berkecamuk. Baginya Kanjeng Gresik itulah pantas menjadi panutan. Apalagi Kanjeng Ampel yang tidak sedikit jasanya.
Lewat dakwa-dakwanya, Kanjeng Ampel berhasil mengkokohkan fondasi sosial budaya dan sistem kemasyarakatan di Majapahit, terutama mengenai kepatuhan terhadap raja. Rakyat tidak boleh melawan rajanya apalagi sampai mbalelo.
Sekarang baik Kanjeng Ampel maupun Kanjeng Gresik telah bermukim di Jatiwangi, ditambah lagi Ki Ageng Ngudung dan Ki Ageng Ngerang, dua pinih sepuh yang juga sangat dihormati Handayaningrat. Malah kabarnya sudah melibatkan pula Kanjeng Gunung Jati.
Kehadiran Kanjeng Gunung Jati ini membuat Handayaningrat gunda gulana. Betapa tidak? Siapa tidak tahu siapa adanya Sunan Gunung Jati itu. Bukankah dia itu cucu langsung Sang Prabu Siliwangi.
Bahwa Maharaja Pajajaran sudah tentu akan mendengar perkataan cucunya, inilah yang membuat Handayaningrat beberapa hari ini tak dapat tidur nyenyak. Sebagai seorang kakek, Siliwangi takan berdiam diri cucunya menghadapi sebuah kesulitan.
Handayaningrat tak dapat dibohongi bahwa Pajajaran pun saat ini telah mengirim prajurit-prajurit terlatihnya mengawal sebagian rakyatnya yang hendak bergabung dengan Kanjeng Ampel dan Kanjeng Gresik di Jatiwangi.
Terhadap Pajajaran sendiri hubungan Handayaningrat demikianlah baik. Disatu sisi sebagai penerus tlatah Majapahit maka dirinyapun harus berpihak pada para kerabat.
Hal seperti ini dikhawatirkan Handayaningkat. Dia khawatir jika Patih Udara mengemas terusirnya Kanjeng Ampel dari Ampeldenda dan keterlibatan Kanjeng Gunung Jati dijadikan alasan membuka konflik terbuka dengan Pajajaran.
“Sulit Pamanda, sulit, ini teramat sulit bagi saya kalau saya harus berhadap – hadapan dengan orang-orang yang saya hormati.”
Patih Seta Kumbayan sejenak menghela napas. “Nanda Adipati, terus terang, inilah permainan yang sulit yang pernah saya alami. Permainan tingkat tinggi yang hanya dapat dimainkan para piawai politik setingkat Patih Udara.”
“Yooi, aku minta pendapatmu Pamanda.”
“Sendiko Gusti.” Patih Seta Kumbayan rangkapkan dua tangan. “Saya jadi berpikir hal sama saat ini dihadapi ayahanda nanda, Gusti Prabu Brawijaya. Disatu sisi mempertahankan nama besarnya sebagai Maha Prabu Majapahit, disisi lain sebagai penjaga tlatah Majapahit.”
“Wooi, apa maksudmu, Pamanda.”
“Sebagai pelaksana titah leluhur melestarikan Tlatah Raja Raja Majapahit, berarti Gusti Prabu harus berpihak kepada Gusti Permaisuri…”
Berhenti disitu. Handayaningrat memang dikenal berangasan tapi santun. Tata bahasanya juga terdengar kasar namun tegas. Dialah seorang Senapati Majapahit yang teramat disegani kala itu. “Yooi, terputus Pamanda, lanjutkan…”
“…Ampuun, Nanda Adipati, pada pilihan kedua, bukankah Nanda Adipati keturunan langsung Gusti Permaisuri paling berhak atas tahta Majapahit ketimbang Pamanda Nanda di Keling yang hanya merupakan saudara Gusti Permaisuri…”
Patih Seta Kumbayan menarik napas panjang. “Ampuun Nanda Adipati, bukanlah maksud Pamanda mengobarkan api dalam dada Nanda, tetapi Pamanda hanya mengkhawatirkan sepak terjang Patih Udara yang sudah kelewat batas, menyeret Tlatah Majapahit dalam sebuah kesukaran.”
Berkecamuklah perasaan Handayaningrat saat itu. Dia paham maksud Patihnya itu. Sebagai Pangeran mengapa dirinya malah berdiam diri menghadapi kecamuk politik di Majapahit. Dan jika pertimbangannya Tlatah, dialah sesungguhnya yang pantas menjadi Raja Majapahit.
Tetapi untuk apa… Apakah dengan menjadi raja maka segala urusan akan selesai… Hmm. Sulit.., teramat sulit. Apalagi Handayaningrat itu bukanlah Patih Udara si pemimpi tulen.
Handayaningrat lebih suka realita yang ada, bahwa hari ini Majapahit memang sudah diambang kebangkrutan. Sang Brawijaya saja gagal mempersatukan tlatahnya apalagi dirinya. Hm, hmm, pada saat ini, siapakah sanggup menyelamatkan Majapahit….
Dalam keadaan begitu datanglah Senapati Sidengrana. “Ampun, Gusti Adipati, Senapati Sidengrana menghadap.”
Senapati perkasa Pajang haturkan sembah. Handayaningrat sejenak persilahkan senapatinya. “Apa yang hendak engkau laporkan Senapati.”
“Ampun Gusti, para telik sandi melaporkan telah melihat pasukan berkuda disekitar kaki Gunung Lawu. Melihat tandanya mereka orang-orang Madiun.”
Handayaningrat menampakan rasa kaget. Sebentat dahinya berkerut. “Seberapa besar kekuatannya Senapati.”
“Sekitar satu peleton, dan sepertinya mereka prajurit berkuda terlatih.”
Handayaningrat diam sejenak. Benaknya pun berpikir. Orang-orang Madiun… Mau apa mereka. Kalau bukan suatu urusan tidaklah bermain sejauh ini.
“Yooi, Senapati, kecuali orang-orang Madiun adakah engkau melihat kelompok-kelompok lain?”
“Hanya rombongan kecil Gusti, mereka orang-orang dusun. Seperti mereka menuju ke utara.”
“Orang-orang Dusun Lawu…!?”
“Ampun Gusti, dari arah datang mereka seperti begitu. Mereka dari dusun sekitar Lawu, Sarangan dan Magetan.”
“Apalagi yang engkau lihat Senapati.”
“Telik sandi pun melaporkan kehadiran orang-orang berseragam hitam. Jumlah mereka hanya sebelas, tapi tersebar dimana-mana.”
“Orang-orang berseragam hitam… Wooi, siapa mereka Senapati?!”
“Ampun Gusti, perihal ini hambah tidak tahu siapa mereka. Tetapi melihat gerakannya agaknya mereka bukanlah prajurit kerajaan tapi semuanya mahir memanah…”
Senapi Sideng Rana berhenti sejenak sebelum lanjutkan bicara. “Ampun Gusti,
dahulu mereka juga pernah menolong Kepala Pengawal Sena Wulung dari kejaran orang-orang Kediri. Bahkan satu pekan terakhir mereka terlihat di Rawa Penging.”
“Rawa Penging…”
“Benar Gusti, mereka terlibat bentrok di dengan penjaga-penjaga Penging.”
Handayaningrat pun terdiam, kemudian membatin. “Penging… Bukankah Raden Kebo Kanigara, putranya, berada disana… Lalu, apakah… “Eh, Senapati, mengapa orang-orang Penging bentrok dengan mereka?”
“Ampun Gusti, sebetulnya mereka bentrok dengan warga dusun entah dari mana. Kemudian datang orang-orang berselubung hitam membantu warga dusun, demikian gusti.”
Handayaningrat kembali berpikir-pikir. Senapati Sideng Rana pun melanjutkan. “Hanya saja, ampun Gusti. Telik Sandi pun melaporkan melihat pergerakan kelompok berselubung hitam yang lain.”
“Wooi, maksudmu beda dengan sebelas orang selubung hitam tadi Senapati?!”
“Benar, Gusti. Olah kanuragannya rata-rata tidak rendah, mahir memanah dan lihai bermain pedang. Melihat gerakannya mereka seperti prajurit-prajurit terlatih.”
Disitu Pangeran Hamdayaningrat tergugu. Kekhawatirannya mulai terbukti. Pangeran Majapahit itu tak salah kalau menduga Pajajaran tak akan tinggal diam terhadap keterlibatan Kanjeng Gunung Jati mendukung Kanjeng Ampel dan Kanjeng Gresik… (bersambung)